Rabu, 20 Oktober 2010

Tugas Kuliah Agama


Pandangan Alkitab terhadap Ulos Batak





Disusun oleh :

1.     Ninda T. M. Sihombing (081501035)
2.     Ester Natalia Panjaitan (081501071)


Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
2009


I.    PENDAHULUAN
          
          
Batak adalah salah satu suku yang ada di Indonesia dan juga merupakan ciptaaan Tuhan yang maha kuasa bukan merupakan ciptaaan mahluk halus atau jelmaannya. Pada jaman dahulu memang kebanyakan dalam kehidupan orang Batak dipenuhi dengan dunia hitam “berbau mistik” tetapi itu adalah bentuk dari belum terkabarnya berita tentang kekristenan di tanah batak!!! Coba seandainya Yesus Kristus lahir ditanah batak 2000 tahun lalu mungkin batak bukan begitu adanya pada dahulu kala, apakah itu harus kita perdebatkan???. Budaya memang lahir dari pikiran manusia sebagai mahluk ciptaaan Tuhan yang paling mulia tetapi kalau kita kaji secara positif apa jadinya orang batak sampai abat ke 18 apabila tidak  ada satu tatanan atau aturan (adat) yang berlaku umum yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, yah mungkin batak sangat sembraut, tidak ada pesta adat kawin dsb,   
Ulos Batak adalah salah satu dari beberapa unsur material dari budaya Batak. Sebagai unsur material, ulos Batak tidak dapat dilepaskan dari orang Batak karena pada dulunya ulos Batak menjadi busana bagi orang Batak. Lain halnya dengan sekarang, oleh karena kemajuan teknologi, ulos Batak tidak lagi menjadi bahan busana bagi orang Batak. Di samping sebagai unsur material, orang Batak memandang ulos Batak bermakna simbolik, artinya memiliki makna khusus di luar sifat dan fungsi materialnya.
           Mengenai ulos Batak sudah lama menjadi kontroversi di kalangan orang Kristen Batak. Bagi sebahagian kecil orang Kristen Batak, mereka anti terhadap ulos Batak kendatipun mereka suku Batak. Sikap anti itu sertamerta melakukan pembakaran terhadap ulos Batak. Menurut mereka di dalam ulos Batak itu ada keberhalaan karena dulunya ulos Batak dipakai dalam upacara penyembahan berhala. Sedangkan bagi sebahagian besar orang Kristen Batak, ulos Batak tetap dipelihara. Hal itu dapat kita lihat dalam adat istiadat, dalam kegiatan Gereja. Dengan kata lain, bersebrangan dengan sikap yang ditunjukkan oleh sebahagian yang anti terhadap ulos Batak.
Dari sudut pandang budaya; apakah memang salah memakai ulos Batak? Dari sudut iman Kristen, apakah ulos Batak itu bertentangan dengan iman Kristen?
            Kain yang disebut ulos ini dipergunakan biasanya dalam pesta tetapi dalam perkembangan jaman banyak ulos dipakai sebagai hiasan dan sebagai kado, banyak hal terutama dari kalangan Kristen sendiri mempermasalahkan ulos sebagai berhala tetapi perlu dikaji secara mendalam apakah pembuatan ulos sekarang itu penuh mistik. Memang pada jaman dahulu pembuatan ulos dilakukan dengan mistis dengan melakukan ritual hasipelebeguon itu memang tidak dapat dipungkiri, tetapi pada saat sekarang ini ulos dibuat tidak dengan cara itu lagi bahkan sudah dengan mesin tenun dengan kata lain itu sama dengan baju yang kita pakai sekarang, Cuma disana ada unsur budaya karena hanya dipakai orang batak
II. ISI
            Setiap kebudayaan selalu memiliki unsur-unsur material yang bermakna simbolik yang dipergunakan di dalam perayaan atau pelaksanaan adat. Salah satu unsur simbolik dalam kebudayaan Batak adalah ulos. Setiap pelaksanaan adat selalu dengan pemakaian ulos. Dengan demikian makna dan pemanfaatan ulos tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan dan makna adat Batak. Namun demikian, ulos bukan hanya bermakna simbolik sebagaimana dipahami di dalam adat, budaya dan kepercayaan religi Batak, tetapi juga bermakna konkrit dengan efisiensi ekonomis.
Pada satu sisi ulos dipahami sebagai bagian dari busana dan bahan tekstil dari produk home industry. Dalam pengertian ini, ulos memiliki nilai ekonomis yang laku dijual dan dibeli. Para penenun, penjual dan pembeli ulos selalu berpikir ekonomis, dengan perhitungan laba rugi. Pada suatu pabrik tenun, pekerjaan menenun merupakan lapangan pekerjaan yang dapat membangun ekonomi keluarga. Ulos juga dipakai sebagai busana, busana ulos bagi laki-laki bagian atas disebut sebagai handehande, bagian bawah disebut singkot, dan penutup kepala disebut talitali, bulangbulang atau detar. Sedangkan busana perempuan, pakaian bagian bawah yang dipakai sampai bahu disebut haen, bagian penutup bahu disebut hobahoba, tetapi kalau dipakai untuk mengendong anak disebut hohophohop dan bila dipakai sebagai selendang disebut ampeampe, sedangkan penutup kepala disebut saong. Sementara itu, masih ada ulos yang khusus dipakai untuk menggendong anak yang disebut parompa. Semua bahan busana ini adalah ditenun dan disebut ulos. Dengan demikian, pada sisi pandangan ini; mulai dari pembuatan, penjualan dan pembelian tidak ada hubungannya dengan pemahaman magis, ritual dan kepercayaan tertentu.
            Pada sisi lain, ulos dipahami secara simbolik, dalam arti memiliki makna khusus di luar sifat dan fungsi materialnya. Ulos dapat merupakan pintapinta; permohonan, harapan atau doa, misalnya dengan permohonan mangulosi badan dan mangulosi tondi. Pada sudut pandangan ini, ulos memang dipahami memiliki makna melebihi fungsi materialnya karena bukan hanya berguna untuk kebutuhan jasmani tetapi juga untuk kebutuhan rohani. Sesuai dengan fungsi ini maka ada berbagai ulos Batak yang dipakai sesuai dengan makna simbolik dan makna permohonan yang masing-masing terkandung pada ulos tersebut, yaitu;
           1. Ulos Jugia
2. Ulos Surisuri Ganjang
3. Ulos Ragidup
4. Ulos Mangiring
5. Ulos Ragihotang
6. Ulos Bintang Maratur
7. Ulos Sadum
8. Ulos Sitolutuho
9. Ulos Runjat
10. Ulos Jungkit
11. Ulos Sibolang
12. Ulos Parompa
       
           Dalam sudut pandang kedua inilah lahir pemahaman simbolik, baik sebagai representasi pengganti unsur material maupun sebagai permohonan tentang kesehatan jasmani dan rohani, yaitu;
1. Ulos na tinonun sadari yang diberikan kepada seseorang yang hendak diulosi tetapi digantikan dalam bentuk uang.
2. Ulos na so ra buruk, yaitu pemberian ulos oleh pihak hulahula kepada borunya dalam bentuk material seperti sebidang tanah.
3. Ulos Tondi, bukan ulos ni tondi, yaitu suatu bentuk pintapinta atau permohonan, di mana pihak hulahula mangulosi borunya yang sedang mengandung anak pertama dengan maksud agar boru yang hendak melahirkan dikuatkan jasmani dan rohaninya ketika melahirkan anaknya, demikian juga dengan anak yang akan lahir sehat secara jasmani dan rohani.
Di daerah tertentu acara ini disebut mangirdak atau mambosari, artinya perempuan yang hamil tua dapat melahirkan dengan selamat, baik bayinya maupun dirinya sendiri.

 Dengan melihat ragam ulos tersebut dan memperhatikan fungsi dan pemakaiannya maka bagi masyarakat Batak tradisional tempo dahulu pasti selalu berhubungan dengan ulos. Ke mana mereka pergi dan dalam tugas apapun yang dilakukannya mereka selalu membutuhkan ulos dalam kehidupannya seharihari. Artinya, orang Batak tidak mungkin mengabaikan apalagi meniadakan ulos dalam kehidupannya.
Namun setelah masyarakat Batak hidup dalam dunia modern, fungsi dan makna ulos sudah berkurang. Ulos sudah digantikan dengan baju, celana, jas, kebaya, sarung dan lain-lain untuk bahan pakaian laki-laki dan perempuan. Ulos tidak lagi dipakai sebagai busana, kecuali dalam hal-hal tertentu, misalnya untuk menunjukkan pakaian tradisional Batak. Pada masa kini pemakaian dan penggunaan ulos lebih dominan dipakai dalam arti nilai budaya yang bermakna simbolik dan pintapinta.
            


1.   PEMBAHASAN
                  Sebahagian kecil masyarakat Kristen Batak yang beraliran fundamentalis dan karismatis sangat takut terhadap ulos. Konon menurut mereka untuk membuat warna dasar ulos yaitu warna merah, nenek moyang orang Batak dahulu kala harus mempergunakan darah manusia (tetapi dalam membuat gorga ni ruma, ada marga Batak tertentu yang memiliki cerita seperti itu. Benar atau tidak, itupun tidak kita ketahui). Entah darimana sumber berita itu tidak kita ketahui. Akan tetapi berita itu sering diberitakan, bahkan dalam rangkaian penjelasan khotbah, hanya untuk menumbuhkan rasa takut dan untuk mengukuhkan bahwa ulos benar-benar berbau kekafiran. Benar atau tidak benar cerita itu tidak kita ketahui.
                  Para pengkhotbah dan oknum yang anti ulos juga sering memberitakan bahwa di dalam ulos itu ada berdiam setan, raja iblis. Hal itu terjadi, katanya, karena ulos tersebut dipakai sebagai alat dan media menyembah setan. Ketika orang Batak dahulu dan sekarang manortor mereka selalu memakai ulos, maka di dalam ulos tersebut mereka pastikan telah berdiam keberhalaan, begu dan setan. Dengan demikian, menurut mereka, satu-satunya cara untuk membasmi setan tersebut, maka ulos itu harus dibakar.Benarkan di dalam ulos itu ada setan? Andaikan benar, apakah bila ulos dibakar, maka setan yang ada di dalam ulos itu ikut terbakar? Andaikan di dalam ulos itu ada setan dan kemudian dibakar, maka setan itu tentu tidak akan mungkin terbakar. Setan itu licik, tidak sebodoh orang yang membakar ulos itu. Andaikan benar di dalam ulos ada setan, maka ketika ulos itu dibakar, setan yang ada di dalam ulos itu mungkin akan menyerang yang membakar ulos itu. Akan tetapi hal itu tidak pernah terjadi, karena memang di dalam ulos itu tidak ada setan. Itu adalah tuduhan yang tidak beralasan dan mengada-ada. Motif pembakaran ulos sebenarnya adalah karena perasaan ketakutan yang berlebihan terhadap ulos itu sendiri.Setan dan iblis dapat berdiam dan mendiami apa saja.
                  Secara teologis-antropologis manusia tidak dapat berhubungan dengan Allah secara langsung tanpa suatu alat atau media perantara. Semua agama yang ada di dunia ini selalu memakai media yang ada pada budayanya sendiri untuk berhubungan dengan Allah. Korban bakaran seperti domba, lembu, merpati adalah media untuk memuji dan menyembah Tuhan. Hasil panen, bungabungaan, kemenyan dan berbagai wewangian adalah media untuk mengucapkan syukur dan memuliakan Tuhan. Semua media itu secara material sebenarnya tidak dibutuhkan Tuhan, tetapi Tuhan berkenan dengan media ucapan syukur tersebut. Hal itu terjadi bukan karena material medianya tetapi karena hati dan iman orang yang mempersembahkannya (bd. Maz. 50:7-15).
Uang juga dapat dipakai sebagai media persembahan dan ucapan syukur. Sama seperti ulos, berbagai unsur-unsur kebudayaan lainnya adalah juga media untuk mengekspresikan dan mengungkapkan iman, doa dan pengharapan kepada Tuhan. Uang dapat menjadi dosa kalau disalahgunakan dalam upaya memperoleh dan memanfaatkannya. Demikian juga ulos, dapat mengandung dosa bahkan hasipelebeguon, bila dipergunakan untuk menyembah setan atau iblis. Jadi uang sama seperti ulos tetap uang dan uilos – tetap media dan materi saja, hanya orang yang memakai dan memanfaatkannya yang berdosa bila dipergunakan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Akan tetapi bila dipergunakan untuk menunjukkan dan mengungkapkan kebesaran nama Tuhan, maka ulos, uang dan media lainnya akan berkenan di hati Tuhan.
Apabila manusia menyapa, memuji dan berdoa kepada Tuhan maka manusia selalu memakai bahasa, prilaku dan sifat anthroprmorfis (antropos= manusia; morfe= bentuk) – sifat-sifat manusia. Dalam menyapa dan memuji Tuhan, Allah itu selalu dibayangkan persis seperti bentuk dan sifat manusia. Sehingga apabila manusia menyapa Allah dan menyebut keberadaan Allah maka sebutan yang dipakai adalah sesuai dengan gambaran manusia atau dari sudut kemanusiaan, misalnya; wajah Allah, tangan Tuhan dan lain-lain. Pada hal yang sebenarnya, Allah itu adalah Roh (Yoh. 4:24). Oleh karena itu cara manusia menyapa Allah secara anthromorfis adalah karena manusia tidak mungkin menyapa Allah dengan cara keilahian Allah sendiri. Manusia hanya dapat menyapa, memuji, menyembah, memohon dan berdoa kepada Allah hanya dengan cara dan sifat kemanusiaan manusia sendiri. Oleh karena sifat dan perilaku manusia yang paling melekat pada dirinya adalah di dalam kebudayaannya, maka adalah hal yang wajar dan biasa apabila manusia menyapa Allah dengan budayanya sendiri. Justru yang tidak wajar, tidak biasa dan aneh adalah apabila manusia menyembah Allah tidak dengan kebudayaannya sendiri.
Oleh karena itu dengan memperalat nats Alkitab untuk menuduh ulos Batak seolaholah dilarang di dalam Alkitab maka itu sama dengan mengkambinghitamkan ulos Batak sebagai sumber dosa, sumber keberhalaan dan mengandung debata sileban. Itu juga berarti mengkambinghitamkan orang-orang yang memakai ulos; yang mangulosi atau yang diulosi sebagai kambing hitam keberdosaan. Akan tetapi mengapa harus demikian? Penetapan seseorang berdosa atau tidak berdoa tidak terletak pada unsur-unsur material yang dipakainya. Bukan pula terletak pada ritus-ritus yang dilakukannya. Sebaliknya, seseorang dapat disebut suci, kudus atau benar sangat ditentukan oleh tujuan dari perbuatannya. Mangulosi atau diulosi memang dapat suatu perbuatan dosa kalau makna mangulosi atau diulosi itu dimaksud secara magis, misalnya berkat diperoleh dari ulos atau dari yang mangulosi tersebut. Akan tetapi mengulosi dan diulosi boleh dibenarkan, bila hal itu dipahami sebagai pintapinta, sebagai doa permohonan, di mana berkat yang diharapkan bukan dari ulos atau dari hulahula, tetapi dari Allah sumber berkat tersebut.


           IV. KESIMPULAN DAN SARAN
           IV. 1. Kesimpulan
Beriman bukan dengan mengharuskan kita tinggalkan apa yang ada di dunia tetapi pakailah itu semua menjadi alat untuk memuji Tuhan sebab semua berasal dariNya
Berbudaya bukan menjadikan kita tinggalkan Tuhan dan sebaliknya tetapi segala budaya yang kurang baik 'memakan orang' perlu ditinggalkan karena salah dan banyak hal baik perlu dijaga
IV. 2. Saran
Jangan membuat kesimpulan kalau kita belum mengerti sebenarnya dua sisi yang dipermasalahkan dan hanya memandang satu sisi saja

V. DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama R.I..1990.Buku panduan penyelenggaraan ujian negara/penghabisan pendidikan guru agama Kristen/Protestan.Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan.
Jacobs,Tom. 1997.Permasalahan Sekitar Kitab Suci 2 – Umat Bertanya. Cetakan ke-lima.Yogyakarta : Penerbit Kanisius Yogyakarta.

Weber,P. Gerard dan P. James Kaligalon.1998.Hidup Dalam Kristus. Cetakan pertama. Gunung Sahari: Penerbit Obor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar