Senin, 30 Agustus 2010

Cara-cara Penanganan Hewan Percobaan dan Rute Pemberian Obat


CARA-CARA PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN
DAN RUTE PEMBERIAN OBAT

I. PENDAHULUAN
            Di samping faktor formulasi, cara pemberian obat turut menentukan kecepatan dan kelengkapan resorbsi obat. Tergantung efek yang diinginkan, yaitu efek sistemis (di seluruh tubuh) atau efek lokal (setempat), keadaan pasien dan sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih dari banyak cara untuk memberikan obat.
Efek Sistemis
1.Oral
Pemberian obat melalui mulut (per oral) adalah cara yang paling lazim, karena sangat lazim karena sangat praktis, mudah dan aman. Namun, tidak semua obat dapat diberikan per oral, misalnya obat yang bersifat merangsang (emetin, aminofilin) atau yang diuraikan oleh getah lambung, seperti benzil penisilin, insulin, oksitosin dan hormon steroida.
2.Sublingual
Obat setelah dikunyah halus (bila perlu) diletakkan di bawah lidah (sublingual), tempat berlangsungnya resorbsi oleh selaput lendir setempat ke dalam vena lidah yang sangat banyak di lokasi ini.
3.Injeksi
Pemberian obat secara parenteral (berarti di luar usus) biasanya dipilih bila diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak getah lambung (hormon), atau tidak diresorpsi usus (streptomisin). Cara-cara pemberian obat secara injeksi antara lain: subkutan, intrakutan, intramuskular, intravena, intra-arteri, intralumbal, intraperitoneal, dll.
4.Implantasi Subkutan
Implantasi subkutan adalah memasukkan obat yang berbentuk pellet steril (tablet silindris kecil) ke bawah kulit dengan menggunakan suatu alat khusus.
5.Rektal
Rektal adalah pemberian obat melalui rektum. Obat ini terutama digunakan pada pasien yang mual-mual atau yang terlampau sakit untuk menelan tablet.
 (Tan Hoan Tjay, 2007)

II. TUJUAN PRCOBAAN
-        Untuk mengetahui bagaimana cara memberi penandaan pada hewan percobaan.
-        Untuk mengetahui berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan.
-        Untuk mengetahui teknik pemberian obat melalui rute intraperitoneal (i.p.) dan secara oral.
-        Untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.
-        Untuk menyatakan onset of action obat berdasarkan rute yang diberikan.
-        Untuk menyatakan duration of action obat berdasarkan rute yang diberikan.
-        Untuk mengetahui efek dari pemberian Luminal Natrium berdasarkan dosis dan rute pemberian terhadap hewan percobaan.
III. PRINSIP PERCOBAAN
-        Penandaan hewan dilakukan dengan cara menandai bagian ekor hewan dengan menggunakan spidol permanen dengan bentuk-bentuk tertentu.
-        Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan intraperitoneal), sehingga dapat diperoleh onset of action, intensitas, dan duration of action dari suatu obat.
-        Dengan membandingkan peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.












IV. TINJAUAN PUSTAKA
            Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang dipakai sebagai Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu di bidang farmasi, phisiologi, ekologi, mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya di negara manapun merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan penelitian (riset). Secara definitif hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilai atau merupakan "model hidup"dal= suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium baik medis maupun non medis secara in vivo. Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan flint' dan teknologi, kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari makin meningkat terutama  untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri. Bahkan secara nasional negara kita adalah salah satu negara pensuplai kebutuhan tersebut (misalnya kera). Di pihak lain belum banyak usaha yang terpadu & programatis dalam penanganan hewan percobaan baik dalam kualitas maupun kuantitas, kecuali pada pihak yang benar-benar mengerti dan sadar akan kepentingan ini. Salah satu hal yang nampaknya kontroversiil ialah pemanfaatan hewan percobaan untuk kepentingan penelitian dan pendidikan di Indonesia masih belum berkembang. Kera adalah alternatif terakhir sebagai animal model yang masih diperlukan penyempurnaan jaringan distribusi dart pengembanganbiakannya melalui beberapa alternatif seperti program pembiakan di kandang (in captivity).
            Identiftikasi (Pemberian tanda pada hewan). Tujuan dari pada pemberian tanda pada hewan adalah di samping untuk mencegah kekeliruan hewan dalam sistim
pembiakannya juga untuk mempermudah pengamatan dalam percobaan. Bermacam-macam cara yang dipakai dalam identifikasi tergantung kepada selera dan juga lama tidaknya hewan tersebut terpaki atau dipelihara. (marking, ear punching, too clipping, ear tags, tattocing, coat colors).
Cara memegang hewan (handling) dan penentuan jenis kelamin. Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah ber,eda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya.  
    (www.cerminduniakedokteran.com)
            Zat aktif obat tidak dapat digunakan begitu saja untuk pengobatan, tetapi harus dibuat suatu bentuk yang cocok serta pula dipilih rute penggunaan obat yang sesuai agar tujuan pengobatan dapat tercapai.
            Dalam pemberian obat perlu pertimbangan mengenai masalah-masalah seperti berikut :
1.      Efek apa yang dikehendaki, lokal atau sistemik.
2.      Onset yang bagaimana dikehendaki, yaitu cepat atau lambat.
3.      Duration yang bagaimana dikehandaki, yang lama atau pendek.
4.      Apakah obatnya tidak rusak di dalam lambung atau di usus.
5.      Rute yang mana mau digunakan yang relatif aman. Melalui mulut, suntikan atau melalui dubur.
6.      Melalui jalan mana yang menyenangkan bagi Dokter atau pasien. Ada orang yang sukar menelan dan ada orang yang takut disuntik. Dan waktu muntah orang sukar minum obat.
7.      Obat yang mana yang harganya relatif murah.
Rute penggunaan obat dapat melalui beberapa cara :
1.      Melalui oral; yaitu masuk mulut, tenggorokan terus ke perut.
2.      Melalui suntikan, yaitu dengan mencoblos beberapa jaringan badan.
3.      Secara inhalasi, yaitu berupa gas diisap melalui hidung.
4.      Melalui selaput lendir seperti melalui vagina, mata, telinga, dubur dan sebagainya.                                                                      (Moh. Anief , 1995)
Prinsip Enam Benar dalam Pemberian Obat
1. Benar Pasien. Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2. Benar Obat. Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi. Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat dan kerjanya.
3. Benar Dosis. Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya berapa ? Ini penting !! karena 1 amp ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga 8 mg. ada antibiotik 1 vial dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus tetap hati-hati dan teliti !
4. Benar Cara/Rute. Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
1. Oral, adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai, karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.
2. Parenteral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui vena (perset / perinfus).
3. Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya salep, losion, krim, spray, tetes mata.
4. Rektal, obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang akan mencair pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp), hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid supp). Pemberian obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam bentuk supositoria.
5. Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya, misalnya salbotamol (ventolin), combivent, berotek untuk asma, atau dalam keadaan darurat misalnya terapi oksigen.\
5. Benar Waktu. Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada obat yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung misalnya asam mefenamat.
6. Benar Dokumentasi. Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
(www.NursingBegin.com)
Oral. Sebagian besar obat di absorpsi melalui jalur ini dan cara ini paling banyak digunakan karena kenyamanannya.Akan tetapi beberapa obat misalnya benzilpenisilin,insulin dirusak oleh asam atau enzim dalam usus dan harus diberikan secara parenteral.
Suntikan intravena.Obat langsung masuk kedalam sirkulasi dan tidak melewati sawar absorpsi.Cara ini digunakan :
  • Saat dibutuhkan efek yang cepat (misalnya furosemid pada edema paru)
  • Untuk pemberian yang kontinu (infus)
  • Untuk volume yang besar
  • Untuk obat-obat yang menyebabkan kerusakan jaringan lokal bila diberikan melalui cara lain (misalnya obat sitotoksik)
Suntikan Intramuskular dan Subkutan.Obat-obat dalam larutat berair (aquaeous)biasanya cukup cepat diabsorpsi,tetapi absorpsi dapat diperlamabat dengan memberikan obat dalam bentuk ester.                            (Michael J.Neal,2005)
Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis dan intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai utnuk bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia. Ahkan bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima lewat intramskuler, begitu juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.
Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berari disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau membrane mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membrane mukosa, maka kemurniaan yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril. Produk parenteral, selain diusahakan harus steril juga tidak boleh mengandung partikel yang memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan tidak mengandung bahan pirogenik. Bebas dari mikroba (steril) dapat dilakukan dengan cara sterilisasi dengan pemanasan pada wadah akhir, namun harus diingat bahwa ada bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan teknik aseptic.
            Injeksi (FI) adalah sediaan streil berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lender injeksi. Injeksi dibuat dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut dan disisipkan dalam wadah takaran tunggal atau ganda.
Rute Pemberian. Rute pemberian sedian parenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa pustaka, antara lain Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua pustaka tersebut di dalam antara kurung dan lain sebagainya. Pengetahuan tentang rute pemebrian ini bukan dimaksudkan agar dapat menyuntikkan dengan benar, tetapi untuk farmasis lebih ditekankan pada persyaratan produk ditinjau secara farmasis. Persyaratan farmasetik yang dimaksud antara lain pemilihan wadah dengan ukuran yang tepat, penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan penetapan tonisitas.                                                                                  (wwwmedicafarma.com)
Antikonvulsi (antikejang) digunakan untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsy (epileptic seizure) dan bangkitan non-epilepsi. Bromide, obat pertama yang digunakan untuk terapi epilepsy telah ditinggalkan karena ditemukannya berbagai antiepilepsi baru yang lebih efektif. Fenobarbital diketahui memiliki efek antikonvulsi spesifik, yang berarti efek antikonvulsinya tidak berkaitan langsung dengan efek hiponotiknya. Di Indonesia Fenobarbital tenyata masih digunakan, walaupun di luar negeri obat ini telah banyak ditinggalkan. Fenitoin (difenilhidantoin), sampai saat ini masih tetap merupakan obat utama antiepilepsi, khususnya untuk bangkitan parsial dan bangkitan umum tonik-klonik. Di samping itu karbamazepin semakin banyak digunakan, karena dibandingkan dengan fenitoin efek sampingnya  lebih sedikit dan lebih  banyak digunakan untuk anak-anak karena tidak menyebabkan wajah kasar dar hipertrofi gusi. Pengaruhnya terhadap perubahan tingkah laku maupun kemampuan kognitif lebih kecil.
Antiepilepsi. Hingga ini, ada 16 obat antiepilepsi, dan obat-obat tersebut digolongkan dalam 5 golongan kimiawi, yakni hidantoin, barbiturate, oksazolidindion, suksimid dan asetil urea.
Akhir-akhir ini karbamazepin dan asam valproat memegang peran penting dalam pengobatan epilepsi, karbamazepin untuk bangkitan parsial sederhana maupun kompleks, sedangkan asam valproat terutama untuk bangkitan lena maupun bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik-klonik.

Golongan Barbiturat.
Di samping sebagai hipnotik-sedatif, golongan barbiturate efektif sebagai obat antikonvulsi; dan yang biasa digunakan adalah barbiturat kerja lama (long acting barbiturates). Di sini dibicarakan efek antiepilepsi prototip barbituat yaitu fenobarbital dan primidon yang struktur kimianya mirip dengan barbiturate.
Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsy. Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi pembentukkan fosfat berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu untuk sintesis neutransmitor misalnya Ach, dan untuk repolarisasi membrane sel nuron setelah depolarisasi.
FENOBARBITAL. Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil-barbiturat merupakan senyawa organic pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif, murah. Dosis efektifnya relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap sebagai efek samping, dapat diatasi dengan pemberian stimulan sentral tanpa mengurangi efek antikonvulsinya.
Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang demam pada anak. Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah dua kali 120-250 mg sehari. Dosis anak ialah 30-100 mg sehari. Untuk kejang demam yang berulang pada anak dapat diberikan dosis muat (loading dose) 6-8 mg/kg BB dan ditambah dengan dosis pemeliharaan 3-4 mg/kg BB. Untuk mengendalikan epilepsi disarankan kadar plasma optimal, berkisar antara 10-40 mg/mL. Kadar plasma di atas 40 mg/mL sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian pemberian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi bangkitan kembali, atau malahan bangkitan status epileptikus.
Penggunaan fenobarbital menyebabkan berbagai efek samping seperti sedasi, psikosis akut dan agitasi, sehingga yang lebih sering dipakai adalah turunan fenobarbital seperti metabarbital atau mefobarbital.
Interaksi fenobarbital dengan obat lain umumnya terjadi karena fenobarbital meningkatkan aktifitas enzim mikrosom hati. Kombinasi dengan asam valproat akan menyebabkan kadar fenobarbital meningkat 40%.                             (Ian Tanu,2007)
Berdasarkan masa kerjanya turunan barbiturat dibagi dalam beberapa kelompok :
a.        Turunan barbiturat dengan kerja panjang (6 jam atau lebih)
Contoh : Barbital, mefobarbital, metabarbital
b.       Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3-6 jam)
Contoh : Siklobarbital, heptabarbital, heksetal, Phenobarbital dan sekobarbital (sekonal).
c.        Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (kurang dari 0,5 jam).
Contoh : Tiopental, tiamital.                                                           (Widodo, 1993)
Mekanisme kerja antiepileptika.
GABA (gamma-aminobultiric acid). Di otak terdapat dua kelompok neutransmitter, yakni zat-zat seperti noradrenalin dan serotonin yang memperlancar transmisi rangsangan listrik di sinaps sel-sel saraf. Selain itu juga terdapat zat-zat yang menghambat neurotransmisi, antara lain GABA dan glisin. Asam amino GABA memiliki efek dopamin (=PIF, prolactin inhibiting factor) lemah, yang berdaya menghambat produksi prolaktin oleh hipofisis. GABA terdapat praktis di seluruh otak dalam dua bentuk, GABA-A dan GABA-B yang daya kerjanya berhubungan erat dengan reseptor benzodiazepin. Ternyata pula bahwa terdapat hubungan langsung antara serangan kejang dan GABA. Zat-zat yang memicu timbulnya konvulsi diketahui bersifat mengurangi aktifitas GABA. Di lain pihak zat-zat yang memperkuat sistem penghambatan yang diatur oleh GABA berdaya antikonvulsi, antara lain benzoiazepin (diazepam, klorazepam). Ini merupakan salah satu mekanisme kerja dari obat-obat epilepsi.
Cara Kerja antiepileptika belum semuanya jelas. Namun dari sejumah obat terdapat indikasi mengenai mekanisme kerjanya, yaitu :
a.       Memperkuat efek GABA : valproat dan vigabatrin bersifat menghambat perombakan GABA oleh transaminase, sehingga kadarnya di sinaps meningkat dan neurotransmisi lebih diperlambat. Juga topiramat bekerja menurut  prinsip memperkuat GABA, sedangkan lamotrigin meningkatkan kadar GABA. Fenobarbital juga menstimulir pelepasannya.
b.      Menghambat kerjanya aspartat dan glutamat. Kedua asam amino ini adalah neurotransmiter yang merangsang neuron dan menimbulkan serangan epilepsi. Pembebasannya ini dapat dihambat oleh lamotrigin, juga oleh valproat, karbamazepin dan fenitoin.
c.       Memblokir saluran-saluran (channels) Na, K, dan Ca yang berperan penting pada timbul dan perbanyakannya muatan listrik. Contohnya adalah etosuksimida, valproat, karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, lamotrigin, pregabalin, dan topiramat.
d.      Meningkatkan ambang-serangan dengan jalan menstabilkan membran sel, antara lain felbamat.
e.       Mencegah timbulnya pelepasan muatan listrik abnormal di pangkalnya (focus) dalam SSP, yakni fenobarbital  dan klonazepam.
f.       Menghindari menjalarnya hiperaktivitas (muatan listrik) tersebut pada neuron otak lainnya, seperti klonazepam dan fenitoin.
Fenobarbital : fenobarbiton, Luminal
            Senyawa hipnotik ini (1912) terutama digunakan pada serangan grand mal dan status epilepticus berdasarkan sifatnya yang dapat memblokir pelepasan muatan listrik di otak. Untuk mengatasi efek hipnotiknya, obat ini dapat dikombinasi dengan kofein. Tidak boleh diberikan pada absences karena justru dapat memperburuknya.
            Resorpsinya di usus baik (70-90%) dan lebih kurang 50% terikat pada protein; plasma-t1/2-nya panjang, lebih kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus. K.I. 50% dipecah menjadi p-hidroksifenobarbital yang diekskresikan lewat urin dan hanya 10-30% dalam keadaan utuh.
            Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya, yakni pusing mengantuk, ataksia, dan pada anak-anak mudah terangsang. Efek samping ini dapat dikurangi dengan penambahan obat-obat lain.
            Interaksi. Bersifat menginduksi enzim dan antara lain mempercepat penguraian kalsiferol(vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis (penyakit Inggris) pada anak kecil.
            Penggunaannya bersama dengan valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan. Di lain pihak kadar darah fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital.
                                                                            (Tan Hoan Tjay, 2007)
           
V. METODOLOGI PERCOBAAN
5. 1. Alat dan Bahan
5.1.1. Alat
- Spidol Permanent
- Timbangan elektrik
- Oral sonde mencit
- Spuit 1ml- Stopwatch
- Alat suntik 1ml
- Beaker glass 25ml
- Erlenmeyer 10ml

                        5.1.2. Bahan
-          Mencit 5 ekor
-          Aquadest
-          Luminal Na konsentrasi 0,7%

5.2. Prosedur Percobaan
1.      Penandaan Hewan
-          dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa dari kandang
-          ditandai ekor mencit dengan spidol permanent
-          diletakkan di atas timbangan elektrik
-          dicatat berat mencit
2.      Persiapan Hewan
-          dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa dari kandang
-          dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri
-          ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna
-          mencit siap untuk disuntik

3.      Cara Pemberian Obat
a.       Intraperitoneal
Ø  Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest)
-          dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
-           disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
-          diamati efek yang terjadi
Ø  Pemberian Luminal Na 0,7%
-          dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
-           disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
-          diamati efek obat yang terjadi
b.      Peroral
Ø   Pemberian Luminal Na 0,7%
-          dipegang tengkuk mencit
-          diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke esofagus
-          larutan didesak keluar dari alat suntik









VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN
6.1. Perhitungan Dosis
Mencit I
berat badan = 29,3 g
Mencit II
berat badan = 23,3 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%

Mencit III
berat badan = 32,3 g
dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB (Oral)
konsentrasi = 0,7%

Mencit IV
berat badan = 22,6 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB (Oral)
konsentrasi = 0,7%

Mencit V
berat badan = 24,1 g
dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB (Oral)
konsentrasi = 0,7%
   

6.2. Data Percobaan
       Terlampir

6.3. Grafik Percobaan
        Terlampir

6.4. Pembahasan 
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa peningkatan dosis yaitu dari 80mg/KgBB menjadi 90mg/KgBB dengan rute pemberian yang sama yaitu Mencit II (Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara oral) dengan Mencit III ((Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara oral) dan antara Mencit IV ((Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara i.p.) dengan Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) akan memberikan efek luminal Na (tidur) lebih cepat. Sementara Mencit I I (kontrol (aquadest) secara i.p. 1% BB ) tidak menunjukkan efek mengantuk (normal).
Menurut literatur, derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Pada obat-obat tersebut, peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian (Katzung, B. G., 1998).
Berdasarkan percobaan juga diperoleh hasil bahwa pemberian obat secara i.p. menunjukkan onset of action yang lebih cepat bila dibandingkan dengan pemberian obat secara oral. Oleh karena itu, Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) menunjukkan onset of action yang paling cepat diantara semua mencit karena pemberiannya secara i.p. dan dosisnya yang tinggi.
Menurut A. Setiawati dan F. D. Suyatna (1995), pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara suntikan yaitu pemberian intraperitoneal, memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Namun suntikan i.p. tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar.


















VII. KESIMPULAN DAN SARAN  
7.1. Kesimpulan
-        Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan dengan urutan mencit.
-        Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara Intraperitonial, hal ini dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi langsung ke dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek.
-        Cara pemberian secara intraperitonial (i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian abdomen mencit dan melaui oral dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah masukknya obat kedalam mulut mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan.
-        Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat.
-        Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute pemberian obat secara oral.
-         Duration of action dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan rute pemberian obat secara oral.
-        Dari hasil yang diperoleh diketahui :
§  Mencit I (kontrol [aquadest 1%] secara i.p) pada menit ke 10 sampai 90 normal (tidak menimbulkan efek obat).
§  Mencit II (Luminal Na 0,7%, 80 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke 10 sampai menit ke 30 normal, selanjutnya dari menit ke 40 sampai ke 60 reaktif (garuk-garuk) dan pada akhirnya bergerak lambat hingga menit ke 90.
§  Mencit III (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara oral) pada 20 menit pertama masih normal, selanjutnya garuk-garuk (reaktif) sampai menit ke 60, dan dari menit ke 70 hingga menit ke 90 gerak lambat.
§  Mencit IV (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara i.p.) normal hanya pada 1 menit pertama, menit ke 20 garuk-garuk (reaktif), selanjutnya bergerak lambat hingga menit ke 70, dan akhirnya tidur.
§  Mencit V (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara i.p) langsung garuk-garuk (reaktif) setelah disuntikkan, kemudian mulai bergerak lambat pada menit ke 40 dan akhirnya tidur di menit ke 80.

7.2. Saran
-        Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki.
-        Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital.
-        Dapat digantikan atau digunakan turunan barbiturat lainnya maupun obat golongan sedatif-hipnotik lainnya (seperti benzodiazepin) untuk mengetahui perbandingan onset of action dan duration of action.















DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. (1995). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal. 19-20.
            http://www.NursingBegin.com
Dinda. (2009). Sediaan Parental
            http://wwwmedicafarma.com
Edhie Sulaksono. (1992). Perkembangbiakan Hewan Percobaan
Neal,Michael J. (2005). At a Galance Farmakologi Medis, Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal. 12.
Tanu, Ian. (2007). Farmakologi dan Terapi, Edisi Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal. 179, 185-186.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Hal. 419, 423.
Widodo, V. B & Lotterer E. (1993). Kumpulan Data Klinik Farmakologi. Cetakan I. Yogyakarta : UGM Press. Hal. 10.














LAMPIRAN

 GAMBAR ALAT DAN HEWAN UJI


Gambar 1. Alat Suntik                                          Gambar 2. Timbangan Elektrik













Gambar 3. Aquadest dan Luminal Na 0,7 %        Gambar 4. Mencit











Gambar 5. Stopwatch

Tidak ada komentar:

Posting Komentar