Senin, 30 Agustus 2010

Pengaruh Variasi Biologi terhadap Dosis Obat

PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT

I. PENDAHULUAN
Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan tergantung dari banyak factor, antara lain usia, bobot badan, beratnya penyakit dan keadaan data tangkis penderita.
Takaran pemakaian yang dimuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope negara-negara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang mutlak untuk ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan Farmakope Eropa dan Negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian mengenai ketepatannya, antara lain berhubung dengan variasi biologi dan factor-faktor tersebut di atas. Sebagai gantinya kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya (lazim) memberikan efek yang diinginkan.
Doses farmakope luar negeri sebetulnya berlaku untuk orang Barat dewasa berdasarkan bobot rata-rata 150 pound (68 kg). tubuh orang Indonesia umumnya lebih kecil dengan berat rata-rata 56 kg, sehingga seharusnya mendapatkan takaran yang lebih rendah pula. Dalam praktek, hal ini tidak atau kurang diperhatikan, tidak pula mengenai besar-kecilnya pasien, karena perbedaan dosis dari kedua bobot badan hanya kurang lebih 16%. Selisih ini dapat diabaikan mengingat variasi individual mengenai daya resorbsi obat di dalam tubuh yang jauh lebih besar, kadang-kadang sampai lebih dari 50%.
(Tjay, TH, 2007)
Faktor-faktor yang memodifikasi aksi obat:
1. Berat badan
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Kondisi patologik pasien
5. Idiosinkrasi
(Anief, M, 2000)

II. TUJUAN PERCOBAAN
 Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan pada hewan percobaan.
 Untuk mengetahui pengaruh berat badan terhadap dosis obat yang diberikan pada hewan percobaan.
 Untuk mengetahui kondisi puasa terhadap dosis obat yang diberikan pada hewan percobaan.
 Untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap dosis obat yang diberikan pada hewan percobaan.

III. PRINSIP PERCOBAAN
Variasi biologi mempengaruhi respon obat pada tubuh sehingga akan mempengaruhi dosis obat yang diberikan kepada setiap individu.










IV. TINJAUAN PUSTAKA
Kerja obat dalam tubuh dipengaruhi oleh banyak variabel. Perbedaan-perbedaan nya adalah perbedaan-perbedaan fisik di antara pasien, faktor-faktor psikologi, bentuk sediaan, rute pemberian obat dan efek samping serta reaksi yang berlawanan.
Perbedaan Fisik
Usia pasien memiliki pengaruh yang nyata terhadap kerja obat. Baik anak-anak dan orang tua memerlukan dosis yang lebih sedikit pada beberapa pengobatan. Ukuran tubuh adalah suatu faktor yang berhubungan terhadap kerja obat. Seseorang yang berbadan besar memerlukan dosis yang lebih banyak daripada dosis rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan suatu efek tertentu, sedangkan bagi orang yang kurus, akan mendapatkan efek walaupun pada dosis yang sedikit. Dosis obat untuk anak-anak biasanya dihitung menurut berat badan, luas permukaan tubuh dan umur.
Jumlah makanan yang terdapat dalam lambung secara langsung mempengaruhi kerja obat. Obat yang terdapat dalam lambung yang kosong biasanya mencapai aliran darah lebih cepat daripada ketika lambung penuh. Obat-obat yang mengiritasi lambung sering diminum setelah makan, obat-obat yang lain diberikan ketika lambung kosong.
Adanya penyakit dapat mengubah kerja obat. Perubahan fungsi gastrointestinal, misalnya, dapat menghambat atau mempercepat penyerapan obat yang diberikan secara oral. Fungsi ginjal yang terganggu dapat menurunkan jumlah obat yang diekskresikan. Jika dosis obat yang diberikan tinggi dapat menyebabkan akumulasi yang serius. Dalam kasus ini, obat-obat tersebut merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan ginjal.
Faktor Psikologi
Banyak kerja obat adalah hasil dari kepercayaan pasien tersebut. Jika seorang percaya bahwa obat akan bekerja, kesempatan akan ada. Efek ini didokumentasikan oleh penelitian ”efek palebo”. Sebaliknya, ketidakpercayaan pasien, sebuah tingkah laku umum yang depresi, dan perasaan putus asa biasa mengurangi aktivitas obat. Orang-orang yang mengatur pengobatan seharusnya menyadari bahwa tingkah laku mereka terhadap obat dapat mempengaruhi pasien, secara tak langsung mempengaruhi kerja obat. Bentuk Sedian. Banyak terdapat bentuk sedian yang berbeda. Bentuk sedian dapat mempengaruhi seberapa cepat suatu obat mulai bekerja, intensitas kerjanya dan lama kerja obat tersebut.
Larutan adalah cairan yang berisi zat-zat yang terlarut. Pelarutnya dapat berupa air atau alkohol seperti eliksir, tinktur, dll. Obat dalam bentuk larutan dapat diserap dengan mudah dan cepat. Makin besar konsentrasi larutan makin cepan diabsorbsi.
Suspensi adalah cairan yang pertikelnya tercampur, tidak terlarut. Jika berbotol-botol suspensi yang ditinggalkan di rak, akan memisah menjadi suatu endapan yang membentuk di dasar, dan suatu cairan yang ada di permukaan. Sedian ini harus dikocok untuk mendistribusikan kembali partikel-partikel sebelum dituang.
Obat-obat dalam bentuk solid dapat berupa tablet, kapsul dan pil. Kapsul biasanya dibuat dari gelatin dan membungkus serbuk obat. Gelatin terlarut cepat dalam lambung dan obat diserap dengan cepat setelahnya. Tablet dan pil terdapat dalam berbagai jenis warna, bentuk, dan ukuran. Beberapa sediaan tersebut disalut gula atau coklat untuk menutupi rasa yang tidak enak. Yang lainnya ada pula dalam jenis enteric-coated, yang dibungkus oleh zat yang tahan terhadap enzim pencernaan yang terdapat di lambung. Obat ini dapat diserap di intestin. Banyak obat yang digunakan secara oral dalam bentuk tablet, walaupun orang biasanya menganggapnya sebagai pil.
Untuk obat-obat yang digunakan secara topikal, dapat berupa lotions, ointments dan creams. Sediaan ini digunakan dengan cara menyapukannya pada kulit.
Suppositoria adalah obat yang dicampur dengan zat pelican dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat digunakan melalui rectum dan vagina.
Obat-obat yang diinjeksikan biasanya didapatkan dalam tempat yang disebut ampul atau vial. Ampul adalah suatu wadah yang terbuat dari kaca yang biasanya berisi satu dosis larutan obat. Vial adalah suatu wadah kaca yang kecil dengan penutup karet yang dapat berisi satu dosis obat atau beberapa dosis obat. Vial yang berisi beberapa dosis obat ditujukan sebagai multiple-dose vial. Kadang-kadang, suatu vial berisi serbuk obat. Tipe dan jumlah tertentu cairan harus ditambahkan ke dalam vial untuk merekonstitusikan sediaan sebelum dimasukkan ke dalam syringe dan disuntikkan. (Lannon, MC, 1986)
Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan tergantung dari banyak factor, antara lain usia, bobot badan, beratnya penyakit dan keadaan data tangkis penderita.
Takaran pemakaian yang dimuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope negara-negara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang mutlak untuk ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan Farmakope Eropa dan Negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian mengenai ketepatannya, antara lain berhubung dengan variasi biologi dan factor-faktor tersebut di atas. Sebagai gantinya kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya (lazim) memberikan efek yang diinginkan.
Doses farmakope luar negeri sebetulnya berlaku untuk orang Barat dewasa berdasarkan bobot rata-rata 150 pound (68 kg). tubuh orang Indonesia umumnya lebih kecil dengan berat rata-rata 56 kg, sehingga seharusnya mendapatkan takaran yang lebih rendah pula. Dalam praktek, hal ini tidak atau kurang diperhatikan, tidak pula mengenai besar-kecilnya pasien, karena perbedaan dosis dari kedua bobot badan hanya kurang lebih 16%. Selisih ini dapat diabaikan mengingat variasi individual mengenai daya resorbsi obat di dalam tubuh yang jauh lebih besar, kadang-kadang sampai lebih dari 50%.
Usia
Manula, yaitu orang berusia di atas 65 tahun, lazimnya lebih peka terhadap obat dan efek sampingnya, karena-karena perubahan-perubahan fisiologis, seperti menurunnya fungsi ginjal dan metaboisme hati, meningkatnya resiko lemak-air dan berkurangnya sirkulasi darah. Karena fungsi hati dan ginjal menurun, maka eliminasi obat pun berlangsung lebih laambat. Lagipula jumlah albumin dalam darahnya lebih sedikit, oleh karena itu pengikatan obat pun berkurang, terutama obat-obat dengan PP besar, seperti anti-koagulansia dan fenilbutazon. Hal ini berarti bahwa bentuk bebas dan aktif dari obat-obat ini menjadi lebih besar dan bahaya keracunan semakin meningkat. Selanjutnya, pada manula tak jarang terjadi kerusakan umum (difus) pada sel-sel otak, yang meningkatkan kepekaan bagi obat dengan kerja pusat, misalnya obat tidur (barbiturat, nitrazepam), opioida dan psikofarmaka. Obat ini pada dosis biasa dapat menyebabkan reaksi keracunan yang hebat pada manula, juga obat jantung digoksin, hormone insulin dan adrenalin.
Anak kecil, terutama bayi yang baru lahir, menunjukkan kerentanan yang lebih besar terhadap obat karena fungsi hati dan ginjal serta system enzimnya belum berkembang secara lengkap. Kloramfenikol, yang sekitar tahun 1960 diberikan pada neonati Inggris secara rutin untuk mencegah infeksi, telah menyebabkan banyak keracunan fatal akibat belum aktifnya enzim-enzim hati. Eliminasi sulfonamide berlangsung sangat lambat, sedangkan mereka terutama peka tehadap obat-obat pusat yang menstimulasi susunan saraf pusat (SSP), misalnya amfetamin, morfin, aminofilin, atropine dan antihistaminika (generasi pertama). Dikenal pula sejumlah obat yang-sering kali pada dosis terlalu tinggi-dapat menunjukkan reaksi paradoksal, seperti perilaku agresif dan hiperaktif, misalnya zat benzodiazepine, ketotifen dan deptropin. Sebaliknya, ada pula beberapa obat yang dapat diberikan pada anak kecil dengan dosis agak tinggi tanpa reaksi buruk, antara lain fenobarbital dan digoksin.
(Tjay, TH, 2007)
Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu besar sehingga menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif. Tanpa adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh bioavailabilitas obat tersebut, dan bioavailabilitas ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.
Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik; kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respon pasien. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat dan toleransi.
Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang. Berdasarkan mekanisme nya ada dua jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat meningkat metabolismenya sendisri (obat merupakan self inducer), misalnya barbiturat dan rifampisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi seluler terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus-menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai reseptor tidak berkurang, tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka responnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik.
Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi) yang cukup besar dapat menimbulkan respon terapi yang berbeda (inekivalensi terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavailabilitas antara 10-20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang sering kali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah: digoksin, fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.
Efek Plasebo
Dalam setiap pengobatan, respon yang diperlihatkan pasien merupakan resultante dari efek farmakologik obat yang diberikan dan efek plasebo (efek yang bukan disebabkan oleh obat) yang selalu terikut selama pengobatan. Efek plasebo ini dapat berbeda secara individual dan dapat berubah dari waktu ke waktu pada individu yang sama. Efek ini dapat memperbaiki respon pasien terhadap pengobatan, tetapi dapat juga merugikan, tegantung dari kualitas hubungan dokter-pasien. Manifestasinya, dapat berupa perubahan emosi, perasaan subyektif, dan gejala obyektif yang berada di bawah kontrol saraf otonom ataupun somatik.
Pengaruh Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya (makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam asap rokok menginduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat tertentu (misalnya teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan dengan demikian mengurangi respon pasien.
(Arini Setiawati dan Armen Muchtar, 2007)
Faktor Yang Memodifikasi Aksi Obat
1. Berat Badan
Dosis orang yang kurang beratnya adalah lebih kecil atau ditentukan dalam kilogram berat badan
2. Umur
Ada beberapa hal yang mempengaruhi ADME pada bayi yang baru lahir.
a. Beberapa sistem enzim pada bayi belum berkembang sempurna, sistem metabbolisme obat dalam saluran pencernaan, fungsi hati dan ginjal baru berkembang setelah satu bulan, akibatnya:
-absorbsi berjalan lambat
-timbul retensi obat di dalam badan
b. Fungsi ginjal belum sepenuhnya berkembang
c. Prosentase air badan total dari berat badan total lebih besar dibandingkan pada anak yang lebih tua. Oleh karena itu volume distribusi obat pada bayi lebih besar dari pada anak yang lebih tua.
Pada pasien geroatri perlu diperhatikan tentang umur biologik pasien dan perubahan aksi obat karena hal tersebut disebabkan oleh:
-kecepatan filtrasi glomeruli dan sekresi tubuh akan berkurang pada orang tua dan juga kecepatan metabolisme obat
-kemampuan mengakomodasi untuk penstabilan homeostasis menurun
3. Jenis Kelamin
Wanita lebih peka terhadap efek katartik tertentu daripada pria. Respon terhadap Tolbutamide oleh wanita lebih baik daripada pria.
4. Kondisi Patologik Pasien
a. Penderita hipokalemia lebih peka terhadap digitalis dibanding keadaan darah kaliumnya normal.
b. Penderita hipertiroid memerlukan dosis Luminal yang lebih tinggi untuk memperoleh efek peredaran daripada orang normal
c. Penderita lebih peka terhadap obat
5. Idiosinkrasi
Merupakan respon abnormal yang sukar dijelaskan.
(Anief, M, 2000)
DOSIS OBAT
Adalah sejumlah obat dalam satuan berat/isi/ unit yang memberikan efek terapetik pada penderita dewasa.
MACAM-MACAM DOSIS
o dosis lazim adalah dosis yang biasa diberikan untuk suatu obat.
o dosis terapeutik adalah range dosis yang masih aman untuyk terapi.

Dosis yang lain
 Dosis toksik : dosis di atas dosis terapi sehingga dapat menimbulkan toksisitas.
 Dosis letalis : dosis toksik yang bila diberikan dapat mengakibatkan kematian.
 Dosis permulaan : dosis permulaan yang diberikan kepada penderita (initial dose).
 Dosis pemeliharaan : dosis obat yang berfungsi untuk menjaga agar kadar obat dalam darah tetap berada dalam dosis terapeutik (maintenance dose).
 Dosis maksimum : dosis di antara dosis terapeutik & dosis toksik, tapi blm bersifat toksik serius.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DOSIS
1. FAKTOR OBAT:
Sifat Fisika : Kelarutan obat (air/lipid); Bentuk (Kristal/Amorf)
Sifat Kimia : Asam, Basa, Garam, Ester, PH : Toksisitas

2. FAKTOR CARA PEMBERIAN:
o Oral : Dimakan / Diminum
o Parenteral : Subkutan, im, iv.
o Rektal, Vaginal, Uretral
o Lokal, Topikal

3. FAKTOR PENDERITA:
o Umur : Anak, dewasa, geriatrik
o BB : Normal, obesitas
o Ras : Metabolisme obat
o Sensitivitas individual
4. INDIKASI DAN PATOFISIOLOGI PENYAKIT:
Penyebab penyakit
Keadaan patofisiologis
(http://obat-dosis-jadwal-pemberian-dlm-preskripsidokter/trackback/)
Faktor apa yang mempengaruhi respon pasien terhadap obat??
Respon itu tergantung pada obat dan apa yang diobati, namun satu alasan penting mengapa orang-orang memeiliki respon yang berbeda tarhadap obat adalah jumlah enzim yang bertanggung jawab atas metabolisme obat yang ditentukan secara genetik.
Enzim ini bertanggung jawab atas metabolisme obat dan inaktivasi nya. Jika seseorang memiliki jumlah enzim yang sedikit, maka obat akan berada dalam tubuh lebih lama dan dalam konsentrasi yang tinggi karena tidak dieliminasi dengan cepat. Jika dimiliki dalam jumlah banyak, obat akan dikeluarkan dari tubuh dengan cepat sehingga hanya sebentar berada dalam tubuh dan berada dalam konsentrasi yang rendah.
(www.answers.yahoo.com)
Banyak orang-orang tidak memahami mengapa individu menjadi kecanduan ke obat atau bagaimana obat mengubah otak untuk membantu perkembangan penyalahgunaan obat yang memaksa. Mereka dengan sembarangan memandang kecanduan dan penyalahgunaan obat/ sebagai suatu masalah sosial dengan keras dan boleh menandai mereka yang mengambil obat secara moral lemah. Satu kepercayaan yang sangat umum adalah obat itu abusers harus bisa berhenti mengambil obat jika mereka hanya berkeinginan berubah perilaku mereka. Apa yang sering orang-orang meremehkan menjadi kompleksitas obat addiction—ini merupakan suatu penyakit yang berdampak pada otak dan oleh karena bahwa, menghentikan penyalahgunaan obat bukan sekedar sesuatu yang ketekunan atau tekad. Melalui/Sampai advance ilmiah [yang] kita sekarang mengetahui banyak lebih banyak tentang bagaimana persisnya obat bekerja di (dalam) otak, dan kita juga mengetahui bahwa kecanduan obat dapat dengan sukses diperlakukan untuk membantu masyarakat perhentian yang menyalah-gunakan obat dan hasilya hidup produktif mereka.
(http://www.nida.nih.gov/drugpages/prevention.html)
V. METODOLOGI PERCOBAAN
5.1. Alat-alat dan Bahan
5.1.1. Alat – alat
 Timbangan elektrik
 Oral sonde mencit
 Spuit 1 ml
 Stopwatch
 Alat suntik 1 ml
 Beaker glass 25 ml

5.1.2. Bahan bahan
 Mencit 6 ekor
 Phenobarbital-Na (Luminal-Na)

5.2. Prosedur Percobaan
1. Hewan ditimbang dan ditandai
2. Dihitung dosis dengan pemberian
 Mencit I : berat badan 25 g luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
 Mencit II : berat badan 35 g luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
 Mencit III : puasa, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (oral)
 Mencit IV : jantan, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (IP)
 Mencit V : tak puasa, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (oral)
 Mencit VI : betina, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
3. Diamati dan dicatat respon yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit.
4. Dibuat grafik jumlah geliat vs waktu.
Respon yang diamati :
1.1. Normal
1.2. Garuk-garuk (reaktif)
1.3. Gerak Lambat
1.4. Tidur

VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK, DAN PEMBAHASAN
6.1. Perhitungan Dosis
 Mencit I
berat badan = 17,3 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 Mencit II
berat badan = 34,7 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 Mencit III
berat badan = 27,1 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 Mencit IV
berat badan = 25,4 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 Mencit V
berat badan = 30,3 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 Mencit VI
berat badan = 24,5 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%

6.2. Data Percobaan
Terlampir

6.3. Grafik Percobaan
Terlampir

6.4. Pembahasan
Dari percobaan, mencit I (17,3 g) memberikan respon lebih cepat dibanding mencit II (34,7 g). Hal ini sesuai dengan teori, dimana mencit dengan berat yang lebih ringan akan lebih cepat memberikan respon. Karena orang yang lebih kurus memberikan respon yang lebih cepat daripada yang gemuk.
Berdasarkan puasa atau tidaknya mencit, mencit III (puasa) menunjukkan respon yang lebih cepat daripada mencit V (tanpa puasa). Hal ini sesuai teori, bahwa dengan adanya makanan di sekeliling dinding lambung, akan menurunkan jumlah obat yang terabsorbsi, sedangkan lambung yang kosong, akan mempermudah obat untuk diabsorbsi. Hasil kerja obat di dalam tubuh kita memang sangat mungkin dipengaruhi oleh makanan atau minuman yang kita konsumsi. Ini dikenal sebagai peristiwa interaksi obat-makanan. Selain dengan makanan, berbagai obat yang kita konsumsi pada saat bersamaan juga dapat saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi obat-makanan (food-drug interaction) atau interaksi antarobat (drug interaction) ini dapat mengurangi khasiat atau kemanjuran obat, bahkan dapat menimbulkan efek yang membahayakan. (Lannon, MC, 1986)
Berdasarkan jenis kelamin, mencit VI (betina) menunjukkan respon yang lebih cepat dibandingkan dengan mencit IV (jantan). Hal ini sesuai dengan teori bahwa wanita lebih sensitif terhadap obat dari pada pria. Wanita lebih sensitif terhadap obat daripada pria disebabkan oleh faktor hormonal. Pada wanita terdapat hormon estrogen yang menyebabkan perubahan-perubahan sehingga mempengaruhi juga responnya terhadap obat. (Anief, M, 2000)














VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
 Variasi biologi mempengaruhi pemberian dosis obat.
 Berat badan mempengaruhi respon farmakologi.
 Kondisi puasa mempengaruhi respon farmakologi.
 Jenis kelamin mempengaruhi respon farmakologi.

7.2. Saran
 Disarankan agar memakai dua atau lebih spesies hewan agar dapat dilihat perbandingan respon farmakologi antarspesies.
 Disarankan agar dosis yang diberikan ada yang seragam dan ada yang tidak, satu menyesuaikan dengan perbandingan berat badan, sedang yang lainnya tidak menyesuaikan dengan berat badan, sehingga dapat dilihat perbandingannya antara kedua dosis di atas.


















DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2000). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal. 17-18.
Anonim. (2008). Drug Abuse and Addiction
http://www.nida.nih.gov/drugpages/prevention.html
Anonim. (2008). Patient Factors that Affect Drug Response
www.answers.yahoo.com
Bentley, PJ. (1981). Elements of Pharmacology, A Primer On Drug Action. Cambridge : CambridgeUniversity Press. Page 93-94.
Lannon, MC. (1986). Essentials of Pharmacology and Dosage Calculation. Second Edition. Philladelphia : JB. Lippincott. Page 5-6.
Mae Sri Hartati Wahyuningsih. (2009). Obat, Dosis, dan jadwal Pemberian dalam Preskripsi Dokter
http://obat-dosis-jadwal-pemberian-dlm-preskripsidokter/trackback/
Setiawati, Arini dan Armen Muchtar. (2007). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respons Pasien terhadap Obat. Farmakologi dan Terapi. Editor: Gunawan, S.G. Edisi ke-5. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 886.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam, Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Hal. 45-46.











LAMPIRAN
Gambar Alat dan Hewan Uji

Gambar 1. Mencit Gambar 2. Timbangan Elektrik














Gambar 3. Alat Suntik Gambar 4. Akuades dan Luminal Na 0,7%















Gambar 5. Stpwatch/jam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar