Senin, 30 Agustus 2010

Antagonis Obat

ANTAGONIS OBAT

I. PENDAHULUAN
Defenisi obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnose, pengobatan, melunakkan, penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau pada hewan.
Meskipun obat dapat menyambuhkan tapi toh banyak kejadian bahwa seseorang telah menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan juga dapat bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebgai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi bila digunakan salah dalam pengobatan atau dengan keliwat dosis akan menimbulkan keracunanan. Bila dosisnya lebih kecil kita tidak memperoleh penyembuhan.
Obat-obat yang tergolong midriatik bekerja melebarkan pupil mata sedangkan obat golongan miotik mengecilkan pupil mata. Ada obat yang digunakan untuk mencegah perdarahan yaitu golongan hemostatik atau golongan koagulansia yang menjadikan darah menjendal, tetapi adapula obat justru mencegah supaya darah jangan jadi menjendal, hal ini diperlukan untuk transfuse darah atau pada waktu operasi jantung dicegah darah jangan menjendal (trombosis).
Parasimpatomimetik. Obat yang digunakan untuk merangsang organ-organ yang dilayani saraf parasipatik. Juga disebut Cholinergik. Efek yang penting terhadap kelenjar, otot polos dan jantung ialah :
1. menaikkan sekresi kelenjar-kelenjar bronchus, keringat, air mata, dan ludah.
2. menimbulkan miosis, daya akomodasi berkurang.
3. kontraksi otot bronchus
4. pelebaran dari kebanyakar pembuluh umum
5. bradycardia
6. kontraksi otot kerangka
7. stimulasi lalu depresi dari susunan saraf sentral
8. menaikkan tonus dan motilitas dari saluran usus lambung
- Pilocarpin Hydrochloridum (miotik)
- Carbacholum (bekerja pada tonus saluran kemih)
- Neostigmini Bromidum (miotik, bekerja pada atonus usus dan myasthenia gravis. (Moh. Anief,1993)
II. TUJUAN PERCOBAAN
- untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari pilokarpin
- untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari atropin
- untuk mengetahui obat-obat yang tergolong dalam obat kolinergik

III. PRINSIP PERCOBAAN
Atropin merupakan antagonis kolinergik yang mempunyai efek yang berlawanan dengan pilokarpin yang merupakan agonis kolinergik. Penggunaan topikal pilokarpin pada kornea mata dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris, sedangkan atrpin menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil).






















IV. TINJAUAN PUSTAKA
Parasimpatikolitik
Obat yang digunakan untuk melawan efek dari perangsangan saraf parasimpatik, dan merupakan antagonis dari obat-obat parasimpatomimetik. Juga disebut anticholinergik.
Efek yang penting ialah :
1. penurunan tonus dan mobilitas saluran usus lambung
2. midriasis
3. ketegangan dari otot bronchus
4. pengurangan sekresi dari kelenjar bronchus, air ludah dan kelenjar keringat
5. merangsang dalam dosis besar dan diikuti terjadinya depresi dari susunan saraf sentral
6. dilatasi dari rahi,
- Artopin Sulfas
- Belladonnae Exztractum
- Belladonnae Tinctura
- Homatropini Hydrobromidum
- Hyoscini Hydrobromidum
- Trihexiphenidylum
- Orphenadrini Hydrochloridum (Moh. Anief,1993)
Asetilkolin yang dilepaskan dai terminal saraf parasimpatis pascaganglion bekerja pada berbagai organ efektor melalui aktivasi reseptor muskarinik. Efek asetilkolin biasanya eksitasi, namun pengecualian penting terdapat pada jantung, yang menerima serabut kolinergik inhibisi dari vagus. Obat yang menyerupai efek asetilkolin disebut kolimimetik dan dapat dibagi dua kelompok yaitu :
- obat yang langsung bekerja pada reseptor (agonis nikotinik dan muskarinik)
- antikolinesterase, yang menghambat asetilkolinesterase sehingga secara tidak langsung memungkinkan asetilkolin terakumulasi pada sinaps dan menghasilkan efeknya.
Atropin, hiosin (skolpolamin), atau antagonis lain digunakan :
1. pada anastesi untuk memblok vagus yang memperlambat jantung dan untuk menghambat sekresi bronkus
2. untuk mengurangi spasme usus, sebagai contoh pada sindrom iritasi usus (irritable bowel syndrome)
3. pada penyakit parkinson (misalnya benzatropin)
4. untuk mencegah motion sickness
5. untuk mendilatasi pupil pada pemeriksaan oftamologi (misalnya tropikamid) atau untuk melumpuhkan otot siliaris
6. sebagai bronkilator pada asma (ipratropium)
Kolinomimetik. Stimulan ganglion. Stimulan ini mempunyai kerja yang sangat luas karena menstimulasi reseptor nikotinik pada kedua neuron ganglion parasimpatis dan simpatis. Efek simpatis meliputi vasokonstriksi, takikardia, dan hipertensi. Efek parasimpatis meliputi peningkatan motilitas usus dan peningkatan sekresi kelenjar saliva dan bronkus. Stimulan ini tidak mempunyai kegunaan klinis.
Agonis muskarinik. Agonis ini secara langsung mengaktivasi reseptor muskariik dan biasanya menimbulkan efek eksitasi. Pengecualian penting terdapat pada jantung, dimana aktivasi reseptor M2 yang dominan mempunyai efek inhibisi pada denyut dan kekuatan kontraksi (atrium). Reseptor M2 secara negatif dipasangkan pada protein G (G¬1) ke adelinat siklase., yang menjelaskan efek inotropik negatif asetilkolin. Subunit G¬1 secara langsung meningkatkan konduktansi K+ pada jantung yang menyebabkan hiperpolarisasi dan brakikardia. Asetilkolin menstimulus sekresi kelenjar dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui aktivasi reseptor M3, yang dipasangkan ke pembentukkan inositol -1, 4, 5, triposfat (InsP3) dan diasilgliserol. (InsP3) meningkatkan Ca+ sitosol, sehingga memicu kontraksi otot atau sekresi kelenjar. Suntikan asetilkolin intravena secara tidak langsung menyebabkan vasodilatasi melalui pelepasan nitrat oksida (NO) dari sel endotel vaskular. Akan tetapi sebagian besar pembuluh darah tidak mempunyai persarafan parasimpatis sehingga fungsi fisiologis reseptor muskarinik vaskular tidak jelas.
Ester Kolin. Karbakol dan betanekol merupakan senyawa kuartener yang tidak dapa menembus sawar darah-otak. Kerja karbakol dan betanekol jauh lebih panjang daripada kerja asetilkolin karena tidak dihidrolisis oleh kolinesterase.
Pilokarpin memiliki atom N tersier, yang menyebabkan peningkatan kelarutan dalam lemak. Hal ini memungkinkan obat menembus kornea ketika digunakan secara topikal dan memasuki otak saat diberikan secara sistemik. (M. J. Neal, 2006)
Secara farmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis antagonisme farmakodinamik, yakni:
1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada system fisiologik yang sama, tetapi pada system reseptor yang berlainan. Misalnya efek histamine dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.
2. Antagonisme pada reseptor terjadi melalui sistem reseptor yang sama. Artinya antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis (receptor site atau active site) sehingga terjadi antagonisme antara agonis dengan antagonisnya. Misalnya efek histamin yang dilepaskan pada reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki resptor yang sama.
Antagonisme pada reseptor dapat diukur berdasarkan interaksi obat-reseptor. Agonis ialah obat yang menduduki resptor menimbulkan efek farmakologi secara intrinsik, sedangkan antagonis reseptor adalah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi secara intrinsik tidak mampu menimbulkan efek farmakologi. Jadi reseptor menghalangi ikatan antara reseptor dengan agonisnya sehingga kerja agonis terhambat. Antagonis demikian disebut receptor blocker atau blocker saja. Jadi blocker tidak menimbulkan efek langsung, tetapi efek tidak langsung akibat hambatan efek agonisnya.
Pada antagonis kompetitif, antagonis berikatan dengan reseptor site secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian efek penghambatan agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal. Jadi diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti afinitas agonis terhadap reseptornya menurun.
Kadang-kadang suatu antagonis mengikat reseptor bukan ditempat ikatan reseptor agonis (agonist receptor site), tetapi menyebabkan perubahan konformasi reseptor sedemikian rupa sehingga afinitas terhadap agonisnya menurun. Walaupun penurunan afinitas agonis ini dapat diatasi dengan meningkatkan dosis agonis, keadaan ini tidak disebut antagonisme kompetitif tetapi lebih tepat disebut kooperativitas negatif.
Pada antagonisme non-kompetitif, penghambatan efek agonis tidak dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapi afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah.
Antagonisma non-kompetitif terjadi jika:
1. Antagonis mengikat reseptor secara irreversibel, di receptor site maupun di tempat lain, sehingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Dengan demikian antagonis mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan agonisnya, sehingga efek maksimal akan berkurang. Tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas tidak berubah. Contoh: fenoksibenzamin mengikat reseptor adrenergik α di receptor site secara irreversibel.
2. Antagonis mengikat bukan pada molekulnya sendiri tetapi pada komponen lain dalam sistem reseptor, yakni pada molekul lainyang meneruskan fungsi reseptor dalam sel target, misalnya molekul enzim adenilat siklase atau molekul protein yang membentuk kanal ion. Ikatan antagonis pada molekul-mpleku tersebut, secara reversibel maupun irreversibel, akan mengurangi efek yang dapat ditimbulkan oleh kompleks agonis-reseptor (mengurangi Emax) tanpa menggangu ikatan agonis dengan molekul reseptornya (afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah).
Agonis parsial adalah agonis yang lemah, artinya agonis yang mempunyai aktivitas intrinsik atau efektivitas yang rendah sehingga menimbulkan efek maksimal yang lemah. Akan tetapi, obat ini akan mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan oleh agonis penuh. Oleh karena itu agonis parsial disebut juga antagonis parsial. Contoh; nalorfin adalah agonis parsial atau antagonis parsial, dengan morfin sebagai agonis penuh dan nalokson sebagai antagonis kompetitif yang murni. Nalorfin dapat digunakan sebagai antagonis pada keracunan morfin, tetapi jika diberikan sendiri nalorfin juga menimbulkan berbagai efek opiat dengan derajat yang lebih ringan. Nalokson, yang tidak mempunyai efek agonis, akan mengantagonisasi dengan sempurna semua efek opiat dari morfin.
(Arini Setiawan, F.D. Suyatna dan Sulistia Gan, 2007)
Beberapa upaya terus dikerjakan untuk mengembangkan agonis dan antagonis yang ditujukan terhadap subtipe res spesifik. Sebagai contoh, Pirenzepin, obat antikolinergik trisiklik, secara selektif menghambat resesptor muskarinik m1, seperti yang terdapat pada mukosa lambung,. Dalam dosis terapi obat ini tidak menimbulkan banyak efek samping seperti halnya obat yang tidak spesifik terhadap subtipe m1. Oleh karena itu Pirenzepin cocok untuk mengobati tukak lambung dan duodenum.
1. Pilokarpin
Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolis dari asetilkolinesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannnya senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftalmologi.
Kerja : Kegunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi spasmo akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu sehingga sulit untuk memfokus suatu objek.
Catatan : efek yang berlawanan dengan atropin, suatu penyekat muskarinik pada mata. Pilokarpin adalah salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kalenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.
2. Atropin
Atropin, Atropa belladonna, memiliki aktivitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat secara kompetitif sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi. Keja obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata maka kerjanya akan berhari-hari. Kerja : Atropin menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi bereaksi terhadap cahaya dan sikloplegia (ketidakmapuan memfokus untuk penglihatan dekat). Pada pasien dengan glaucoma , tekanan intaraokular akan meninggi dan membahayakan.
(M. J. Mycek, R. A. Harvey dan P. C. Champe, 1997)
Interaksi Obat Reseptor
Sebagian besar obat-obatan menunjukkan korelasi yang sangat tinggi struktur dan kekhususan untuk menghasilkan efek farmakologis. Bukti eksperimental menunjukkan bahwa obat berinteraksi dengan reseptor yang terlokalisasi di makromolekul seperti protein memiliki sifat dan spesifik bentuk tiga dimensi. Minimum tiga titik lampiran obat untuk sebuah situs reseptor diperlukan. Dalam kebanyakan kasus yang agak spesifik struktur kimia yang diperlukan untuk situs reseptor dan struktur obat komplementer.
Sedikit perubahan dalam struktur molekul obat dapat berubah secara drastis kekhususan. Beberapa kekuatan kimia dapat mengakibatkan pengikatan sementara obat dengan reseptor. Pada dasarnya setiap obligasi dapat terlibat dengan obat-reseptor interaksi. Ikatan kovalen akan sangat ketat dan praktis ireversibel. Karena menurut definisi obat-reseptor interaksi adalah reversibel, pembentukan ikatan kovalen agak jarang kecuali dalam situasi yang agak beracun. Karena banyak obat yang mengandung asam atau kelompok-kelompok fungsional amina yang terionisasi pada pH fisiologis, ikatan ion terbentuk oleh daya tarik biaya berlawanan dalam situs reseptor. Kutub-kutub interaksi seperti dalam ikatan hidrogen adalah perluasan daya tarik biaya berlawanan. Obat-reseptor reaksi pada dasarnya adalah pertukaran ikatan hidrogen antara molekul obat, air sekitarnya, dan situs reseptor.
Sisi Interaksi Obat resepror. Akhirnya ikatan hidrofobik terbentuk antara non-polar kelompok hidrokarbon pada obat dan mereka yang berada di situs reseptor. Obligasi ini tidak begitu spesifik tetapi interaksi yang terjadi untuk mengecualikan molekul air. Kekuatan yang menjijikkan penurunan stabilitas obat-reseptor mencakup interaksi tolakan dari Steric seperti biaya dan hambatan. Steric halangan mengacu pada 3-dimensi tertentu fitur di mana tolakan elektron terjadi antara awan, tidak fleksibel ikatan kimia, atau kelompok alkil besar.
Sebuah neurotransmitter memiliki bentuk khusus untuk masuk ke sebuah situs reseptor dan menyebabkan respons farmakologis seperti impuls saraf sedang dikirim. Neurotransmitter serupa dengan substrat dalam interaksi enzim.
Setelah lampiran ke situs reseptor, obat dapat juga melakukan tanggapan atau mencegah respon dari terjadi. Sebuah obat harus dekat "meniru" neurotransmitter. Agonis adalah obat yang menghasilkan jenis stimulasi respon. The agonis adalah sangat dekat meniru dan "cocok" dengan situs reseptor dan dengan demikian dapat memulai respon. Obat antagonis reseptor berinteraksi dengan situs dan menghambat atau menekan respons normal untuk reseptor karena hanya sesuai dengan reseptor sebagian situs dan tidak dapat menghasilkan efek. Namun, hal ini mencegah memblokir situs lain agonis atau neurotransmiter normal dari reseptor berinteraksi dengan situs. (http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/660drugreceptor.html)
Reseptor Sel
Pada permukaan mereka, sebagian besar sel memiliki banyak jenis reseptor yang berbeda. Reseptor adalah molekul dengan spesifik struktur tiga dimensi, yang hanya memungkinkan zat-zat yang sesuai untuk melampirkan tepat untuk itu-sebagai kunci dalam kunci cocok. Mengaktifkan reseptor alam (yang berasal dalam tubuh) zat-zat di luar sel, seperti neurotransmiter dan hormon, untuk mempengaruhi aktivitas sel. Pengaruh yang mungkin untuk merangsang atau menghambat suatu proses di dalam sel. Obat-obatan cenderung meniru bahan-bahan alami ini dan dengan demikian menggunakan reseptor dengan cara yang sama. Sebagai contoh, morfin.
Beberapa Nama dagangnya : MS CONTINORAMORPH
dan berhubungan dengan obat penghilang rasa sakit atau mempengaruhi tindakan pada reseptor yang sama di otak yang digunakan oleh endorfin, zat yang diproduksi oleh tubuh untuk membantu mengontrol rasa sakit. Beberapa obat melampirkan hanya satu jenis reseptor. Obat lain, seperti kunci master, dapat melampirkan dengan beberapa jenis reseptor di seluruh tubuh. Sebuah selektivitas obat sering dapat dijelaskan dengan cara selektif itu menempel pada reseptor.
Agonis dan antagonis: Obat yang menargetkan reseptor diklasifikasikan sebagai agonis atau antagonis. Obat agonis mengaktifkan, atau merangsang, reseptor mereka, memicu respons yang meningkatkan atau menurunkan aktivitas sel. Obat antagonis memblokir akses atau lampiran dari agonis alami tubuh, biasanya neurotransmiter, reseptor mereka dan dengan demikian mencegah atau mengurangi respon sel agonis alam. Antagonis agonis dan obat-obatan dapat digunakan bersama-sama pada pasien dengan asma. Sebagai contoh, albuterol Beberapa Nama Perdagangan
PROVENTIL-HFAVENTOLIN HFA dapat digunakan dengan ipratropium Beberapa Nama Perdagangan Atrovent . Albuterol Beberapa Nama Perdagangan
PROVENTIL-HFAVENTOLIN HFA, Suatu agonis, melekat pada khusus (adrenergik) reseptor pada sel-sel di saluran pernapasan, menyebabkan relaksasi sel otot polos dan dengan demikian pelebaran saluran udara (bronchodilation). Perdagangan Ipratropium Beberapa Nama Atrovent , Sebuah antagonis, melekat pada lain (cholinergic) reseptor, menghalangi lampiran asetilkolin, sebuah neurotransmiter yang menyebabkan kontraksi sel otot polos dan dengan demikian penyempitan saluran udara (bronkokonstriksi).
Kedua obat melebarkan saluran udara (dan membuat pernapasan lebih mudah) tapi dengan cara yang berbeda. Beta-blocker, seperti propranolol Beberapa Nama Perdagangan Inderal , Adalah kelompok digunakan secara luas antagonis. Obat ini digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, angina (nyeri dada yang disebabkan oleh suplai darah yang tidak memadai ke otot jantung), dan beberapa irama jantung abnormal dan mencegah migrain. Mereka memblokir atau mengurangi stimulasi hati oleh agonis hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin), yang dilepaskan pada saat stres.
Antagonis seperti beta-blocker yang paling efektif bila konsentrasi agonis yang tinggi di bagian tertentu dari tubuh. Mirip dengan cara berhenti lebih kendaraan hambatan selama jam sibuk 5:00 daripada at 3:00 pm, beta-blocker, yang diberikan dalam dosis yang memiliki sedikit efek pada fungsi jantung normal, mungkin memiliki efek lebih besar pada lonjakan tiba-tiba hormon dilepaskan selama stres dan dengan demikian melindungi jantung dari kelebihan stimulasi.
(http://www.merck.com/mmhe/sec02/ch012/ch012b.html)
Pada konsentrasi agonis tetap, peningkatan konsentrasi antagonis kompetitif secara progresif, akan mengurangi respons agonis. Konsentrasi antagonis yang tinggi akan mencegah respons secara keseluruhan. Sebaliknya, konsentrasi agonis yang cukup tinggi dapat mengatasi secara keseluruhan efek ; Emaks untuk agonis tetap sama untuk setiap konsentrasi antagonis yang tetap. Karena antagonisme bersifat kompetitif maka keberadaan antagonis akan meningkatkan konsentrasi agonis yang diperlukan untuk derajat respon tertentu. Konsentrasi agonis yang diperlukan untuk menimbulkan efek terentu pada keberadaan konsentrasi tetap, antagonis kompetitif adalah lebih besar daripada konsentrasi agonis yang diperlukan utnuk menimbulkan efek yang sama pada keadaan tidak adanya antagonis.
Beberapa antagonis reseptor tertentu yang terikat pada reseptor secara irreversibel, atau hampir irreversibel, ialah tidak kompetitif. Afinitas antagonis untuk reseptor mungkin begitu tinggi sehingga untuk pertimbangan praktis kemungkinan tidak ada reseptor yang mengikat agonis. Antagonis lain di dalam kelompoik ini menimbulkan efek reversibel karena setelah berikatan dengan reseptor, antagonis tersebut membentuk ikatan kovalen dengannya. Setelah okupasi sejumlah reseptor oleh antagonis yang demikian, jumlah sisa reseptor yang tidak diduduki mungkin tertalu rendah untuk agonis (meskipun pada konsentrasi yang tinggi) untuk menghasillkan respons yang sebanding dengan respons maksimal selanjutnya. Namun, bila ada reseptor cadangan, dosis antagonis yang irreversibel mungkin membiarkan reseptor-reseptor yang tidak ditempati dalam jumlah yang cukup untuk memperoleh hasil respon maksimum untuk agonis meskipun konsentrasi agonis yang lebih tinggi akan diperlukan.
Secara terapeutik, antagonis yang irreversibel memberikan keuntungan dan kerugian tersendiri. Sekali saja antagonis yang irreversibel menempati reseptor, maka antagonis tersebut tidak perlu ada dalam bentuk terikat untk mengurangi respons agonis. Akibatnya, lama kerja antagonisme yang irreversibel secara relatif tak tergantung pada kecepatan eliminasinya sendiri dan akan lebih bergantung pada kecepatan pergantian molekul-molekul reseptor. Phenoksybenzamine, antagonis adrenoseptor-α yang irreversibel, digunakan untuk mengontrol hipertensi yang disebabkan oleh release cathecholamine dari pheochromocytoma, suatu tumor medula adrenalis. Kalau pemberian Phenoksybenzamine menurunkan tekanan darah, penyekatan akan dipertahankan bahkan ketika tumor tersebut merilis sejumlah besar cathecholamine secara episodik. Dalam hal ini, keuntungan terapeutik adalah kemampuan untuk mencegah respon berbagai macam konsentrasi agonis dan konsentrasi agonis yang tinggi. Namun kalau terjadi overdosis, maka masalah yang sesungguhnya akan muncul. Bila blokade adrenoseptor-α tidak dapat diatasi, efek kelebihan obat harus diantagonis ”secara fisiologik”, misalnya dengan menggunakan peningkat tekanan darah (pressor agent) yang bertindak tanpa menggunakan reseptorα . (B.G. Katzung, 2001)
Losartan merupakan anatagonis angiotensin II pertama yang diperkenalkan pada tahun 1995. Dibandingkan dengan obat asalnya, metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh lebih lama dan efek antihipertensinya lebih baik pada pengukuran konsentrasi plasma. Pada penelitian losartan menunjukkan ditoleransi dengan baik dan sama efektifnya dengan enalapril dan nifedipin untuk menurunkan tekanan darah. Penurunan tekanan darah rata-rata tercapai pada dosis 50 hingga 150 mg satu kali sehari adalah 5.5 hingga 10.5mm Hg untuk sistoloik dan 3.5 hingga 7.5 mm Hg pada diastolik. Kombinasi dari losartan dan hidroklortiazid juga tersedia, kombinasi obat ini mengandung 12.5 mg hidroklrtiazid dan 50 mg losartan. (www.indoforum.com)
Koliergika khusus digunakan pada penyakit mata glaukoma, myasthenia gravis, demensia, Alzheiner dan atonia.
Glaukoma. Staar hijau (Glaukoma) adalah penyakit mata yang bercirikan peningkatan tekanan cairan mata pada intraokuler (TIO) di atas 21 mmHg, yang bisa menjepit saraf mata. Saraf ini berangsur-angsur dirusak secara progresif, sehingga penglihatan memburuk dan akhirnya dapat menimbulkan kebutaan. Akan tetapi hanya persentase kecil pasien dengan TIO meningkat dihinggapi glaukoma. Nilai tekanan intraokuler normal adalan antara 10-21 mmHg.
Penyebabnya. Cairan mata terbentuk di mukosa tipis di belakang pupil, di corpus ciliare dan via liang pupil mengalir ke ruang mata depan. Pengeluarannya melalui ruang mata sempit antara pupil dan kornea (”segi bilik”) ke saluran keluar. Bila cairan ini tidak dapat mengalir keluar dari ruang mata depan karena misalnya penyumbatan, maka TIO akan meningkat. Jenis glaukoma yang paling sering terdapat adalah glaukoma segi-bilik terbuka (glaucoma simplex).
Pengobatan dapat dilakukan dengan terutama dua jenis obat tergantung pada penyebabnya gangguan, yakni dengan koliergika atau β-blokers. Pada glaukoma terbuka, beta-blokers merupakan pilihan pertama. Bila obat-obat ini terkontraindikasi atau kurang efektif, baru digunakan kolinergika atau adrenergika.
a. Beta-blokers;timolol (Nyolol 0,5%), Betaksosol (Betoptima 0,5%) dan befunolol (Glacones 0,5%). Efektif bila kenaikan tekanan intraokuler desebabkan oleh meningkatnya produksi cairan mata. Mekanisme kerjanya yang eksak belum jelas.
b. Kolinergika; pilokarpin, karbachol, dan neostigmin. Digunakan bila segi bilik menyempit, yang sering terjadi pada manula. Akibatnya pengeluaran cairan mata dari bilik-sepan terhambat, sedangkan volumenya dan tekanan intraokuler setempat meningkat. Obat-obat ini berkontraksi dan menyempitkan manik mata (miosis), yang menyebabkan segi bilik merenggan dan penyaluran cairan mata meningkat.
c. Adrenergik; dipivefrin, apraklonidin dan brimonidin. Dipivefrin melalui stimulasi beta reseptor meskipun meningkatan produksi cairan bilik, tetapi serentak juga penyalurannya distimulir hingga efek nettonya adalah netral. Stimulasi reseptor alpha menghambat poduksi cairan. Kedua obat terakhir mengurangi produksi cairan mata, brimonidin juga melancarkan penyalurannya. Kedua obat ini hanya digunakan untuk pengobatan jangka pendek sebelumnya atau sesuai penanganan dengan laser.
d. Obat-obat lainnya, adalah latanoprost, dorzolamida dan brinzolamida. Obat pertama mempercepat pengeluaran cairan, sedangkan kedua zat terakhir adalah penghambat-karboanhidrase yang mengurangi produksinya.
(Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja,2007)
V. METODE PERCOBAAN
5.1 Alat dan Bahan
5.1.1 Alat
- Botol tetes
- Stopwatch
- Flash light (senter)
- Jangka sorong
- Lup (kaca pembesar)

5.1.2 Bahan
- Kelinci
- Pilokarpin 1%
- Atropin 1%

5.2 Prosedur Percobaan
 diukur diameter mata normal kelinci kanan dan kiri serta refleksnya terhadap cahaya sebanyak 3 kali dengan selang waktu 5 menit.
 diberi tetes mata pilokarpin 1% sebanyak dua tetes pada mata kanan dan kiri.
 diukur diameter pupil kedua mata kelinci serta refleks terhadap cahaya selama 30 menit selang waktu 5 menit.
 diberi tetes mata atropin 1% sebanyak 2 tetes pada kedua mata.
 diukur diameter pupil kedua mata kelinci serta refleks terhadap cahaya selama 30 menit selang waktu 5 menit.
 dibuat grafik diameter pupil vs waktu.








VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN
5.1. Perhitungan Dosis
-

5.2. Data Percobaan

5.3. Grafik Percobaan
Terlampir

5.4. Pembahasan
Dalam percobaan diperoleh hasil bahwa dengan pemberian obat pilokarpin 1% (kolinergik atau disebut juga parasimpatomimetika) maka pupil mata kelinci mengalami pengecilan (miosis) dan pada pemberian atropin 1% (antikolinergik atau disebut juga parasimpatikolitik) maka pupil mata kelinci membesar (midriasis).
Menurut Moh. Anief (1993), obat-obat parasimpatomimetika adalah obat yang digunakan untuk merangsang organ-organ yang dilayani saraf parasipatik. Juga disebut Cholinergik. Efek yang penting terhadap kelenjar, otot polos dan jantung ialah : menaikkan sekresi kelenjar-kelenjar bronchus, keringat, air mata, dan ludah, menimbulkan miosis, daya akomodasi berkurang, kontraksi otot bronchus, pelebaran dari kebanyakar pembuluh umum, bradycardia, kontraksi otot kerangka, stimulasi lalu depresi dari susunan saraf sentral, serta menaikkan tonus dan motilitas dari saluran usus lambung
Obat-obat yang tergolong parasimpatikolitik adalah obat yang digunakan untuk melawan efek dari perangsangan saraf parasimpatik, dan merupakan antagonis dari obat-obat parasimpatomimetik. Juga disebut anticholinergik. Efek yang penting ialah : penurunan tonus dan mobilitas saluran usus lambung, midriasis, ketegangan dari otot bronchus, pengurangan sekresi dari kelenjar bronchus, air ludah dan kelenjar keringat, merangsang dalam dosis besar dan diikuti terjadinya depresi dari susunan saraf sentral, dan dilatasi dari rahim.
Pada percobaan antagonis obat ini, obat mata yang diteteskan pertama-tama adalah pilokarpin selanjutnya atropin. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengamatan efek farmakologi obat. Efek pilokarpin mengecilkan pupil mata dan ini berlangsung tidak lama, sedangkan efek atropin dalam membesarkan pupil mata berlangsung lama. Sehingga untuk digunakan pertama pilokarpin karena nantinya tidak akan menggangu pengamatan terhadap efek atropin. Dan sebaliknya jika atropin diberikan pertama, maka ikatan atropin yang kuat dengan reseptornya ini akan susah dilepas pada saat diberikan pilokarpin. Dan ini akan menggangu pengamatan terhadap efek pilokarpin.
M. J. Mycek dkk (1997) mengatakan bahwa atropin, Atropa belladonna, memiliki aktivitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat secara kompetitif sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi. Keja obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata maka kerjanya akan berhari-hari. Kerja : Atropin menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi bereaksi terhadap cahaya dan sikloplegia (ketidakmapuan memfokus untuk penglihatan dekat). Pada pasien dengan glaucoma , tekanan intaraokular akan meninggi dan membahayakan.

















VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
 Pemberian pilokarpin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek miosis (mengecilnya diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur dengan alat bantu jangka sorong.
 Pemberian antropin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek midriasis (membesarnya diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur dengan alat bantu jangka sorong.
 Obat-obat yang tergolong dalam obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan :
a. Asetilkolin ; asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol.
b. Asetilkolinesterase ; fisostigmin, prostigmin, diisopropil-flourofosfat (DFP), insektisida golongan organofosfat.
c. Alkaloid tumbuhan ; muskarin, pilokarpin, asekolin.

7.2. Saran
 Sebaiknya pengamatan dan pengukuran diameter mata kelinci dilakukan oleh praktikan yang sama (satu praktikan) untuk menghindari perbedaan variasi pengamatan.
 Sebaiknya pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi, dengan mengusahakan jarak pengukuran yang hampir sama untuk setiap pengukuran sehingga respon farmakologinya lebih mudah diamati.











DAFTAR PUSTAKA

Angela Moroney. (2007). Antagonist Drug.
http://www.merck.com/mmhe/sec02/ch012/ch012b.html
Anief, Moh. (1993). Penggolongan Obat berdasarkan Khasiat dan Penggunaan. Cetakan IV. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal. 89-90.
Anonim. (2003). Antagonis Angiotensin.
www.indoforum.com
Charles, E. Ophart . (2003). Drug Receptor Interactions.
http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/660drugreceptor.html
Katzung, B. (2001). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika. Hal. 27-29.
Mycek, M.J., R. A. Harvey dan P. C. Champe. (1997). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi Kedua. Jakarta : Widya Medika. Hal. 38, 41, dan 45-46.
Neal, Michael J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal. 24-25.
Setiawati, A., F.D. Suyatna dan Sulistia Gan. (2007). Pengantar Farmakologi. Farmakologi dan Terapi. Editor: Gunawan, S.G. Edisi ke-5. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 20-22.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam, Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Hal. 506-507.











LAMPIRAN
Gambar Alat dan Hewan Uji

Gambar 1. Kelinci Gambar 2. Tetes mata pilokarpin dan Atropin









Gambar 3. Jangka Sorong Gambar 4. Kaca Pembesar









Gambar 5. Senter Gambar 6. Stopwatch/Jam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar