Senin, 30 Agustus 2010

Dosis Obat, Respon, dan Penentuan Indeks Terapi

DOSIS OBAT, RESPON, DAN PENENTUAN INDEKS TERAPI

I. PENDAHULUAN
Aktivitas terapetik dipengaruhi oleh serangkaian pemberian obat. Keadaan ini tidak saja berkaitan dengan zat aktif dan perubahannya di dalam tubuh, tetapi juga berkaitan dengan individu yang diberi obat, serta adanya interaksi permanent antara keduanya. Analisis hal tersebut akan dijadikan dalam urutan yang terbalik dengan kronologi sesungguhnya, yang terdiri dari tiga tahap yaitu : tahap farmakodinamik, tahap farmakokinetik, dam tahap biofarmasetik.
Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini terlalu besar sehingga tidak efektif.
Tanpa adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh bioavailabilitas obat tersebut, dan bioavailabilitas obat ditentukan oleh mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Factor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.
Untuk kebanyakan obat, keseragaman respons pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam factor-faktor farmakokinetik; kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam factor-faktor farmakokinetik merupakan sebab utama yang menimbulkan keseragaman respons pasien. Variasi dalam berbagai factor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, factor genetic, interaksi obat dan toleransi.
Fasefarmakokinetik berkaitannya dengan masuknya zat aktif ke dalam tubuh. Pemasukan in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena fisiko-kimia yang terpadu di dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan yang selanjutnya menentukan aktivitas terapetik obat.
(Arini Setiawati dan Armen Muchtar, 2007)
II. TUJUAN PERCOBAAN
 Untuk menentukan ED 50 Luminal Natrium
 Untuk menentukan LD 50 Luminal Natrium
 Untuk mengetahui indeks terapi dari Luminal Natrium

III. PRINSIP PERCOBAAN
Indeks terapi didapat berdasarkan perbandingan antara LD 50 terhadap ED 50 Luminal Natrium.
























IV. TINJAUAN PUSTAKA
Dosis tunggal, Konsentrasi obat dalam plasma meningkat saat obat didistribusikan ke dalam darah, kemudian turun saat obat didistribusikan ke jaringan, dimetabolisme, dan dieksresi. Obat yang diberikan secara oral mencapai konsentrasi plasma puncak lebih lambat daripada obat yang diberikan secara intravena. Obat-obatan oral harus diabsorbsi melalui mukosa saluran pencernaan dan dinding kapiler sebelum masuk ke aliran darah.
Dosis intermiten, Sebuah obat harus diberikan selama 4-5 waktu paruh sebelum tercapai stabil (keseimbangan). Puncak adalah nilai-nilai tinggi pada fluktuasi. Efek toksik paling mungkin terjadi selama konsentrasi puncak obat.
Lembah adalah nilai-nilai rendah pada fluktuasi. Kurangnya efek obat paling mungkin terjadi selama konsentrasi lembah obat. Sebagai contoh, nyeri pasca operasi lebih mungkin terjadi lagi tepat sebelum pemberian morfin yang kedua dibanding pada waktu pertengahan antara pemberian pertama dan kedua.
Kadar terapeutik obat dapat dicapai lebih cepat dengan memberikan dosis muatan yang diikuti dengan dosis rumatan. Dosis muatan adalah dosis awal oabat yang lebih tinggi dari dosis-dosis selanjutnya dengan tujuan mencapai kadar oabat terapeutik dalam serum dengan cepat.
Dosis muatan diikuti dengan dosis rumatan, yang merupakan dosis obat yang mempertahankan konsentrasi plasma dalam keadaan stabil pada rentang terapeutik.
Regimen dosis adalah cara, jumlah, dan frekuensi pemberian obat yang mempengaruhi onset of action dan duration of action kerja obat.onset of action adalah jumlah waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk mulai bekerja. Obat-obatan yang diberikan secara intravena secara umum mempunyai onset of action yang lebih cepat dibanding obat-obat yang diberikan per oral karena obat-obatan harus diabsorpsi dan melalui usus sebelum masuk ke aliran darah. Durasi adalah lamanya waktu suatu obat bersifat terapeutik. Durasi biasanya sesuai dengan waktu paruh obat tersebut (kecuali bila obat terikat irreversibel dengan reseptornya) dan tergantung pada metabolisme dan eksresinya.
Farmakokinetik.
Absorpsi Obat. Saat obat didistribusikan dalam tubuh, obat mengadakan kontak dengan sejumlah membran. Obat-obatan melalui beberapa membran tetapi membran lainnya tidak.
• Faktor-faktor terkait obat yang mempengaruhi absorpsi meliputi keadaan ionisasi, berat molekul, kelarutan (lipofilisitas) dan formulasi (larutan vs tablet). Obat-obatan yang kecil, tak terionisasi, larut dalam lemak menembus membran plasma paling mudah.
• Faktor-faktor terkait pasien yang mempengaruhi absorpsi obat tergantung pada cara pemberiannya. Sebagai contoh, adanya makanan dan saluran pencernaan, keasaman lambung, dan aliran darah ke saluran pencernaan mempengaruhi absorpsi obat-obatan oral. (James Olson, M.D., 1993)
Interaksi antara obat dan tempat ikatan pada reseptor tergantung pada terpenuhinya ‘kesesuaian’ antara kedua molekul tersebut. Makin erat kesesuaian dan makin banyak ikatan (biasanya non kovalen), makin kuat gaya tarik di antara kedua molekul tersbut, dan makin tinggi afinitas obat tersebut terhadap reseptor. Kemampuan suatu obat untuk berikatan dengan satu jenis reseptor tertentu disebut spesifisitas. Tidak ada obat yang benar-benar spesifik, namun banyak obat yang bekerja relative selektif pada satu jenis reseptor.
Obat-obat diresepkan untuk menghasilkan efek terapeutik, namun seringkali menghasilkan efek yang tidak diharapkan, yang bervariasi mulai dari efek yang tidak berarti (misalnya mual ringan) sampai efek yang fatal (misalnya anemia aplastik).
(Michael J. Neal , 2006)
Hampir semua obat dengan dosis yang cukup besar dapat menimbulkan efek toksis (= dosis toksis, TD) dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (=dosis letal, LD). Dosis terapeutis adalah takaran pada mana obat menghasilkan efek yang diinginkan.
Untuk menilai keamanan dan efek suatu obat, di laboratorium farmakologi dilakukan penelitian dengan binatang percobaan. Yang ditentukan adalah khusus ED50 dan LD50 yaitu dosis yang masing-masing memberikan efek atau dosis yang mematikan pada 50% pada jumlah binatang.
Indeks terapi (LD50:ED50) merupakan perbandingan antara kedua dosis itu, yang merupakan suatu ukuran keamanan obat. Semakin besar indeks terapi, semakin aman penggunaan obat tersebut. Tetapi, hendaknya diperhatikan bahwa indeks terapi initidak dengan begitu saja dapat dikorelasikan terhadap manusia, seperti semua hasil percobaan dengan binatang, karena adanya perbedaan metabolisme.
Luas terapi (ED50-LD50) adalah jarak antara ED50 dan LD50, juga dinamakan jarak keamanan (safety margins). Seperti indeks terapi, luas terapi berguna juga sebagai indikasi untuk keamanan obat yang digunakan untuk jangka waktu panjang. Obat dengan luas terapi kecil, yaitu dengan selisih kesil antara dosis terapi dan dosis toksisnya, mudah sekali menimbulkan keracunan bila dosis normalnya dilampaui, misalnya anti koagulansia kumarin, fenitoin, teofilin, litiumkarbonat dan tolbutamida.
Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan tergantung dari banyak factor, antara lain usia, bobot badan, beratnya penyakit dan keadaan data tangkis penderita.
Takaran pemakaian yang dimuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope negara-negara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang mutlak untuk ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan Farmakope Eropa dan Negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian mengenai ketepatannya, antara lain berhubung dengan variasi biologi dan factor-faktor tersebut di atas. Sebagai gantinya kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya (lazim) memberikan efek yang diinginkan.
Doses farmakope luar negeri sebetulnya berlaku untuk orang Barat dewasa berdasarkan bobot rata-rata 150 pound (68 kg). tubuh orang Indonesia umumnya lebih kecil dengan berat rata-rata 56 kg, sehingga seharusnya mendapatkan takaran yang lebih rendah pula. Dalam praktek, hal ini tidak atau kurang diperhatikan, tidak pula mengenai besar-kecilnya pasien, karena perbedaan dosis dari kedua bobot badan hanya kurang lebih 16%. Selisih ini dapat diabaikan mengingat variasi individual mengenai daya resorbsi obat di dalam tubuh yang jauh lebih besar, kadang-kadang sampai lebih dari 50%. (Tan Hoan Tjay, 2007)
Dosis Efektif, Jika ekspose ke organ/ bagian badan atau jaringan/tisu berbeda tidaklah seragam, benar begitu ketika radionuklida disimpan di (dalam) badan, konsep tentang dosis efektif digunakan. dasar Gagasan akan menyatakan resiko dari suatu ekspose dari organ/ bagian badan atau jaringan/tisu tunggal dalam kaitan dengan resiko yang sejenisnya dari suatu ekspose menyangkut keseluruhan badan.
Dosis efektif tersebut dapat dikalkukasikan sebagai berikut :
E = wT x HT
Keterangan :
wT : factor berat badan
HT¬ : dosis ekivalen dengan efek T
E : keefektifan dosis terhadap tubuh
Dimana jalan/cara pekerjaan ini dapat digambarkan oleh contoh berikut . Ira seorang pekerja telah menerima suatu dosis setara jaringan/tisu,, berangkat kelenjar/penekan yang gondok itu. Bagaimana mungkin ini dibandingkan untuk suatu ekspose menyangkut keseluruhan badan? (www.triumpf.ca/safety/rpt)
Dosis Efektif menengah suatu obat adalah jumlah yang akan menghasilkan intensitas efek yang diharapkan 50% dari jumlah populasi percobaan. Dosis Toksik median ialah jumlah yang akan menghasilkan efek keracunan tertentu yang diharapkan pada 50% dari populasi percobaan. Hubungan antara efek obat yang diharapkan dan yang tidak biasanya dinyatakan dalam indeks terapeutik dan dinyatakan sebagai rasio (perbandingan) antara dosis toksik median dan dosis efektif median suatu obat, TD50/ED50. jadi duatu obat dengan indeks terapeutik 15 dapat diharapkan akan memberikan batas keselamatan yang lebih besar dalam penggunaannya daripada obat dengan indeks terapeutik 5. untuk beberapa obat tertentu indeks terapeutiknya demikian rendah sampai 2, sehingga harus cukup berhati-hati menggunakan unsure-unsur obat semacam ini.
Indeks terapeutik harus dipandang sebagai petunjuk umum batas keamanan dan untuk setiap pasien dipertimbangkan secara terpisah. Indeks terapeutik tidak diperhitungkan pada pasien idiosinkrasi perseorangan. Lebih lanjut, selama criteria penentuan indeks terapeutik melibatkan pemakaian figure median dan defenisi sempit yang dimaksudkan dengan kemanjuran dari toksisitas, sedangkan indeks tidak sepenuhnya mencerminkan populasi contoh dan tergantung pada defenisi kemanjuran dan “toksisitas”, maka sejumlah indeks terapeutik mungkin menetapkan sebuah obat saja. (Howard C. Ansel, 2005)
Ikatan obat dengan reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der waals, mirip ikatan antara substrat dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen. Hubungan Kadar/Dosis-Intensitas Efek
D + R DR E
(Obat) (Reseptor) (Efek)
Menurut teori pendudukan reseptor (receptor occupancy), intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intensitas efek mencapai maksimal jika seluruh reseptor diduduki oleh obat. Olegh karena interaksi obat-reseptor ini analog dengan interaksi substract-enzim, maka di sini berlaku persamaan Michaelis-Menten :

E = intensitas efek obat
E¬max = efek maksimal
[D] = kadar obat bebas
=konstanta disosiasi kompleks obat reseptor
Jika KD = [D], maka :
, berarti 50% dari reseptor diduduki oleh obat.
Hubungan antara kadar atau dosis obat [D] dengan besarnya efek [E] terlihat sebagai kurva dosis-intensitas efek (graded dose-effect curve=DEC) yang berbentuk hiperbola. Jika dosis dalam log, maka hubungan antara log D dengan besarnya efek E terlihat sebagai kurva log dosis-intensitas efek (log DEC) yang berbentuk sigmoid. Ini hanya berlaku untuk satu efek. Jika efek yang diamati merupakan gabungan beberapa efek, maka log DEC nya dapat bermacam-macam bentuknya. Tetapi untuk masing-masing efek tersebut, log DEC umumnya berbentuk sigmoid.
Log DEC lebih sering digunakan karena mencakup kisaran dosis yang luas dan mempunyai bagian yang linear, yakni pada besar efek = 16,84% (=50% ± 1 SD), sehingga lebih mudah unuk membandingkan beberapa DEC.
1/KD menunjukkan afinitas obat terhadap reseptor, artinya kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptornya (kemampuan obat untuk membentuk kompleks obat-reseptor). Jadi makin besar KD (dosis yang menimbulkan ½ efek maksimal), makin kecil afinitas obat terhadap reseptornya.
Hubungan antara dosis dengan intensitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek. Misalnya efek antihipertensi merupakan kombinasi efek terhadap jantung, vaskular dan sistem saraf.
Potensi menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh:
1. Kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat-sifat farmakokinetik obat.
2. Afinitas obat terhadap reseptornya.
Variabel ini relatif tidak penting karena dalam klinik digunakan dosis yang sesuai dengan potensinya. Hanya, jika potensi yang diperlukan terlalu rendah, akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membahayakan jika obatnya mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit.
Hubungan antara kadar atau dosis obat dengan besarnya efek terlihat sebagai kurva dosis-intensitas efek yang berbentuk hiperbola. Jika dosis dalam log, maka hubungan antara log dosis dengan besarnya efek terlihat sebagai kuva log dosis-intensitas efek yang berbentuk sigmoid.
Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam %) pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis), maka akan diperolaeh kurva distribusi normal. Jika distribusi frekuensi tersebut dibuat kumulatif maka akan diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang disebut kurva log dosis-persen responsif (log dose-percent curve = log DPC). Oleh karena respons pasien di sini bersifat kuantal (all or none), maka kurva sigmoid ini disebut juga kurva log dosis-efek kuantal (quantal log dose-effect curve = loq DEC kuantal). Jadi log DPC menunjukkan variasi individual dari dosis yang diperlukan untuk menimbulkan suatu efek tertentu.
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut :
Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua tanpa menimbulkan efek toksik pada seorangpun pasien. Oleh karena itu,
Indeks terapi = TD1/ED99 adalah lebih tepat dan untuk
obat ideal = TD1/ED99 ≥1
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.
(Arini Setiawati, F.D. Suyatna, dan Gan Sulistia, 2007)
Fenobarbital atau Luminal
Senyawa hipnotik ini (1912) terutama digunkan pada serangan grand mal dan status epilepticus berdasarka sifatnya yang dapat memblokir pelepasan muatan listrik diotak. Untuk mengatasi efek hipnotiknya, obat ini dapat dikombinasi dengan kofein. Tidak boleh diberikan pada absences, karena justru dapat memperburuknya.
Resorpsinya diusus baik (70-90 %) dan lebih kurang 50 % terikat pada protein; plasma-t1/2-nya panjang, lebih kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sekaligus sehari. Kira-kira 50 % dimetabolismekan menjadi p-hidroksifenobarbital yang diekskresikan lewat urin dan hanya 10-30 % dalam keadaan utuh.
Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya, yakni pusing, mengantuk, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Efek sampingnya ini dapat dikurangi dengan mengkombinasikannya dengan obat-obat lain.
Interaksi bersifat dengan induksi enzim, dan antara lain mempercepat penguraian karsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis (penyakit inggris) pada anak kecil. Penggunaannya bersama dengan valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan. (Tan Hoan Tjay, 2007)
Mekanisme kerja yang pasti dari phenobarbital masih belum diketahui,tetapi penguatan proses inhibisi dan pengurangan transmisi eksitatorik kemungkinan besar berperan penting.Data terbaru menunjukkan bahwa phenobarbital secara selektif menekan neuron abnormal,menghambat penyebaran,dan menekan firing (rangsangan depolarisasi)darineuron fokus.Seperti phenytoin,phenobarbital menekan high frequency-repetitive firing pada neuron yang dikultur,melalui kerjanya pada konduktans natrium,tetapi hanya pada konsentrasi tinggi.Juga pada konsentrasi tinggi,barbiturate menyakat beberapa arus Ca2+ (Tipe L dan Tipe N).Phenobarbital terikata pada suatu situs pengatur alosterik pada reseptor GABA-benzodiazepine dan memperkuat arus masuk yang diprakarsai oleh resptor GABA dengan memperlama pembukaan kanal ion Cl-.Phenobarbital juga menyakat respons eksitatorik yang diinduksi oleh glutamate,terutama yang diprakarsai oleh aktivasi reseptor AMPA .Baik penguatan inhibisi yang diprakarsai oleh GABA maupun pengurangan eksitasi yang diprakarsai oleh glutamate adalah dilihat pada konsentrasi phenobarbital yang mempunyai relevansi terapeutik.
Penggunaan klinis
Phenobarbital sangat berguna untuk pengobatan seizure parsial dan seizure tonik klonik umum meskipun obat ini sering dicoba hampir pada tiap jenis seizure,terutama bila serangannya sukar dikendalikan. Ada sedikit bikti atas efektifitasnya terhadap seizure umum seperti absen,serangan atonik atau spasme infantil,ini dapat memperparah pasien-pasien tertentu yang menderita jenis seizure tersebut (Bertram G.Katzung,2002)
Dosis letal adalah sebuah indikasi tingkat kematian dai suatu zat yang diberikan atau adalah tipe dari radiasi. Karena daya tahan yang berubah-ubah dari indivisu yang satu dengan yang lain, dosis letal mewakili sebuah dosis (biasanya dicatat sebagai dosis per kilogram berat badan) yang diberikan pada subjek yang akan mengakibatkan kematian.
Yang biasa sering-digunakan indicator tingkat kematian adalah LD 50, sebuah dosis dimana 50% dari subjeknya akan mengalami kematian. Pengukuran LD sering digunakan untuk menjelaskan kekuatan dari bias pada hewan seperti ular. Hewan-dasar pengukuran dosis letal biasanya digunakan dalam teknik penemuan suatu obat, walaupun telah banyak peneliti meninggalkan cara ini dalam metodenya.
Gambaran dosis letal tidak hanya bergantung pada spesies hewan, tetapi juga pada metode administrasi. Sebagai contoh, suatu zat racun yang diinjeksikan ke systemperedaran darah boleh memerlukan lebih kecil takaran daripada jika zat yang sama ditelan (oral). (www.answer.yahoo.com)
Indeks massa tubuh (body mass weight=BMI), berat dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi dalam meter, digunakan untuk penafsiran berat da obesitas.
Indeks reaktif, kemampuan ketiaktifan dibandingkan dengan udara. (diperkirakan 1)
Indeks terapi, perbandingan antara dosis toleransi maksimum dengan dosis penyembuhan minimum; sekarang didefenisikan perbandingan antara dosis letal medium (LD 50) dengan dosis efektif medium (ED 50). Digunakan untuk memperkirakan keamanan suatu obat. (www.thefree-dictionary.co.id)
V. METODOLOGI PERCOBAAN
5.1. Alat-alat dan Bahan
5.1.1. Alat – alat
 Timbangan elektrik
 Oral sonde mencit
 Spuit 1 ml
 Stopwatch
 Alat suntik 1 ml
 Beaker glass 25 ml
 Spidol permanen

5.1.2. Bahan bahan
 Mencit 20 ekor
 Phenobarbital-Na (Luminal-Na)

5.2. Prosedur Percobaan
1. Hewan ditimbang dan ditandai
2. Dihitung dosis dengan pemberian
 Partner I : Luminal Na 0,7%, 25 mg/kg BB (IP)
 Partner II : Luminal Na 0,7%, 50 mg/kg BB (IP)
 Partner III : Luminal Na 0,7%, 100 mg/kg BB (IP)
 Partner IV : Luminal Na 0,7%, 200 mg/kg BB (IP)
 Partner IV : Luminal Na 0,7%, 400 mg/kg BB (IP)
3. Diamati dan dicatat respon yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit.
4. Dicatac hasil pada buku data
• All or None (1 atau 0)





VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK, DAN PEMBAHASAN
6.1. Perhitungan Dosis
a. Partner I
 Mencit I
berat badan = 21,2 g
dosis Luminal Na = 25 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 Mencit II
berat badan = 29,5 g
dosis Luminal Na = 25 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%



 Mencit III
berat badan = 34,7 g
dosis Luminal Na = 25 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%



 Mencit IV
berat badan = 20,3 g
dosis Luminal Na = 25 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%





b. Partner II
 Mencit I
berat badan = 29,1 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 Mencit II
berat badan = 20,1 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%





 Mencit III
berat badan = 16,3 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%



 Mencit IV
berat badan = 23,7 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%





c. Partner III
 Mencit I
berat badan = 24,7 g
dosis Luminal Na = 100 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%



 Mencit II
berat badan = 29,3 g
dosis Luminal Na = 100 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%




 Mencit III
berat badan = 30,3 g
dosis Luminal Na = 100 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%



 Mencit IV
berat badan = 23,7 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%





d. Partner IV
 Mencit I
berat badan = 34,2 g
dosis Luminal Na = 200 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 Mencit II
berat badan = 19,0 g
dosis Luminal Na = 200 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%





 Mencit III
berat badan = 18,8 g
dosis Luminal Na = 200 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%



 Mencit IV
berat badan = 24,1 g
dosis Luminal Na = 200 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%





e. Partner V
 Mencit I
berat badan = 30,5 g
dosis Luminal Na = 400 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 Mencit II
berat badan = 16,0 g
dosis Luminal Na = 400 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%





 Mencit III
berat badan = 37,6 g
dosis Luminal Na = 400 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 Mencit IV
berat badan = 34,5 g
dosis Luminal Na = 400 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%


 ED 50
Log ED 50 = a – b ( )

Keterangan, a = log dosis terendah yang masih memberikan respon
b = beda log dosis yang berurutan

maka ED 50 = 17,68
 LD 50
Log LD 50 = a – b ( )
Keterangan, a = log dosis terendah yang menyebabkan kematian
b = beda log dosis yang berurutan

maka LD 50 = 282,81
Jadi,


6.2. Data Percobaan


6.3. Grafik Percobaan
-

6.4. Pembahasan
Pada data percobaan diperoleh ED 50 = 17,68 dan LD 50 = 282,81, sehingga diperoleh nilai Indeks Terapi (IT) adalah 15,99. Namun data tersebut diperoleh dari pengamatan 60 menit. Karena sebenarnya setelah 90 menit tersebut masih ada hewan percobaan yang mengalami kematian akibat dosis obat yang diberikan. Dan dari indeks terapi yang diperoleh sekarang dapat dikatakan bahwa obat (Luminal Na) memiliki tingkat keamanan yang tinggi.
Dosis Efektif menengah suatu obat adalah jumlah yang akan menghasilkan intensitas efek yang diharapkan 50% dari jumlah populasi percobaan. Dosis Toksik median ialah jumlah yang akan menghasilkan efek keracunan tertentu yang diharapkan pada 50% dari populasi percobaan. Hubungan antara efek obat yang diharapkan dan yang tidak biasanya dinyatakan dalam indeks terapeutik dan dinyatakan sebagai rasio (perbandingan) antara dosis toksik median dan dosis efektif median suatu obat, TD50/ED50. jadi duatu obat dengan indeks terapeutik 15 dapat diharapkan akan memberikan batas keselamatan yang lebih besar dalam penggunaannya daripada obat dengan indeks terapeutik 5. untuk beberapa obat tertentu indeks terapeutiknya demikian rendah sampai 2, sehingga harus cukup berhati-hati menggunakan unsure-unsur obat semacam ini.
Indeks terapeutik harus dipandang sebagai petunjuk umum batas keamanan dan untuk setiap pasien dipertimbangkan secara terpisah. Indeks terapeutik tidak diperhitungkan pada pasien idiosinkrasi perseorangan. Lebih lanjut, selama criteria penentuan indeks terapeutik melibatkan pemakaian figure median dan defenisi sempit yang dimaksudkan dengan kemanjuran dari toksisitas, sedangkan indeks tidak sepenuhnya mencerminkan populasi contoh dan tergantung pada defenisi kemanjuran dan “toksisitas”, maka sejumlah indeks terapeutik mungkin menetapkan sebuah obat saja. (Howard C. Ansel, 2005)












VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
 ED Luminal Natrium adalah 17,68
 LD Luminal Natrium adalah 282,81
 Indeks Terapi Luminal Natrium adalah 15,99

7.2. Saran
 Disarankan agar waktu pengamatan diperpanjang menjadi 120 menit, karena ternyata masih banyak hewan percobaan yang mai setelah 90 menit.























DAFTAR PUSTAKA

Anonima. (2008). Lethal Dose
www.answer.yahoo.com
Anonimb. (2009). Therapeutic Dose
www.thefree-dictionary.co.id
Ansel, Howard C. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta : University of Indonesia Press. Hal. 72-74.
Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku 2, Edisi VIII. Jakarta : Penerbit Salemba Medika. Hal. 98.
Neal, Michael J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal. 8.
Noel Giffin. (1996). Effective Dose
www.triumpf.ca/safety/rpt
Olson, James M.D. (1993). Belajar Mudah Farmakologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran arta. Halaman 2 – 4.
Setiawati, Arini dan Armen Muchtar. (2007). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respons Pasien terhadap Obat. Farmakologi dan Terapi. Editor: Gunawan, S.G. Edisi ke-5. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 886.
Setiawati, A., F.D. Suyatna dan Sulistia Gan. (2007). Pengantar Farmakologi. Farmakologi dan Terapi. Editor: Gunawan, S.G. Edisi ke-5. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 17.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam, Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Hal. 48-49.







LAMPIRAN
Gambar Alat dan Hewan Uji

Gambar 1. Mencit Gambar 2. Timbangan Elektrik














Gambar 3. Alat Suntik Gambar 4. Akuades dan Luminal Na 0,7%















Gambar 5. Stpwatch/jam Gambar 6. Spidol Permanen

1 komentar: