Senin, 30 Agustus 2010

Antipiretik

ANTIPIRETIK

I. PENDAHULUAN
Suhu tubuh normal. Suhu inti dan suhu kulit. Suhu dari jaringan tubuh dalam-yaitu ”inti”-hampir selalu konstan, sekitar kurang lebih 10F (kurang lebih 0,60C), dari hari ke hari kecuali bila seseorang mengalami demam. Tentu saja, orang yang telanjang dapat terpapar pada suhu serendah 550F atau setinggi 1300F dalam udara kering dan tetap mempertahankan suhu tubuh interna mendekati konstan. Mekanisme untuk mengawasi suhu tubuh menunjukkan suatu system pengaturan yang amat baik. Tujuan dari bab ini adalah membahas cara kerja system tersebut sewaktu system bekerja dalam keadaan sehat dan sakit (Guyton, 1996).
Suhu kulit berbeda dengan suhu inti, naik dan turun sesuai dengan suhu lingkungan. Temperature ini merupakan temperature yang penting apabila kita merujuk pada kemampuan kulit untuk melepaskan panas ke lingkungan (guyton, 1996).Temperatur tubuh diatur dengan mengimbangi produksi panas terhadap kehilangan panas (Guyton, 1996).
Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas, timbul panas dalam tubuh dan temperature tubuh meningkat. Sebaliknya, bila kehilangan panas lebih besar, panas tubuh dan temperature tubuh menurun (Guyton, 1996).
Produksi panas adalah produk tambahan metabolisme yang utama. Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persarafan umpan balik, dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada hipotalamus. Agar mekanisme umpan balilk ini dapat berlangsung, harus juga tersedia pendetektor suhu untuk menentukan kapan suhu tubuh menjadi sangat panas atau sangat dingin (Guyton, 1996).
Deteksi termostatik suhu pada hipotalamus-peranan hipotalamus anterior-area preoptik. Telah dilakukan percobaan pemanasan dan pendinginan pada suatu area kecil di otak dengan menggunakan apa yang disebut thermode. Alat kecil, seperti jarum ini dipanaskan dengan alat elektrik atau dialirkan air panas, atau didinginkan dengan air dingin. Area utama dalam kotak dimana panas yang dihasilkan oleh thermode mempengaruhi pengaturan suhu tubuh terdiri dari nucleus preoptik dan nucleus hipotalamik anterior hipotalamus (Guyton, 1996).
II. TUJUAN PERCOBAAN
- Mengamati efek pemberian 2,4-dinitrofenol pada hewan percobaan dan mengamati khasiat parasetamol sebagai penurun panas
- Untk membandingkan khasiat parasetamol dan obat X dalam menurunkan panas

III. PRINSIP PERCOBAAN
Pemberian 2,4-dinitrofenol sebagai pirogen eksogen akan merangsang pengeluaran prostaglandin d hipotalamus sehingga suhu thermostat meningkat dan tubuh menjadi panas untuk menyesuaikan dengan suhu thermostat, dan pemberian parasetamol dapat menurunkan suhu tubuh sampai batas normal yaitu berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur panas di hipotalamus yang bekerja dengan dua proses, efek sentral yaitu dengan menghambat siklus COX-2 sehingga tidak terjadi pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat, dimana prostaglandin tidak akan merangsang lagi thermostat untuk menaikkan suhu tubuh. Dan efek perifer dimana saraf simpatis di kulit bekerja mengaktifkan reseptor-reseptor panas di kulit sehingga terjadi vasodilatasi perifer. Dengan terjadinya vasodilatasi ini, panas lebih cepat terkonduksi ke jaringan kulit dan melalui alran udara terjadi konveksi sehingga panas dikeluarkan dan disertai keluarnya keringat. Maka lama-kelamaan suhu tubuh akan turun.













IV. TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam badan, panas dihasilkan oleh gerak otot, asimilasi makanan dan semua proses vital yang menyokong laju metabolisme basal. Ia hilang dari bahan oleh radiasi, konduksi serta penguapan air di dalam jalan pernapasan dan di atas kulit. Sejumlah kecil panas juga di buang di dalam urina dan feses. Keseimbangan antar produksi panas dan kehilangan panas menentukan suhu badan. Karena kecepatan reaksi kimia bervariasi sesuai suhu dan kecepatan reakasi kimia bervariasi sesuai suhu dan karena system enzyme tubuh mmpunyai rentang suhu yang sempit tempat ia berfungsi optimum, maka fungsi tubuh yang normal tergantung atas suhu badan yang relatif tetap (Ganong, W. F., 2000).
Pada manusia nilai normal tradisional bagi suhu mulut 37°C, tatapi dalam satu seri besar dewasa muda normal, suhu mulut pagi rata-rata 36,7°C dengan deviasi standar 0,2°C. sehingga 95% dari semua dewasa muda akan diharapkan mempunyai suhu mulut pagi hari 36,3-37,1°C. berbagai bagian badan pada suhu berbeda dan besar perbedaan suhu antar bagian bervariasi sesuai suhu lingkungan. Selama gerak badan, panas yang dihasilkan oleh kontraksi otot terkumpul di dalam badan serta suhu rectum normalnya meningkat setinggi 40°C (Ganong, W. F., 2000).
Peningkatan ini sebagian karena ketakmampuan sebagian mekanisme enghilang panas menangani peningkatan besar dalam jumlah panas yang dihasilkan, tetapi ada bukti bahwa di samping itu ada peningkatan suhu tubuh saat mekanisme penghilang panas diaktivasi selama gerak badan. Suhu badan juga meningkat sedikit selama perangsangan emosional, mungkin karena ketegangan otot yang tak disadari. Secara menahun ia ditingkatkan sebanyak 0,5°C bila laju metabolic tinggi, seperti dalam hipertiroidisme, dan direndahkan bila laju metabolit rendah, seperti dalam miksedema. Sejumlah dewasa yang jelas normal secara menahun mempunyai suhu di atas rentang normal (Ganong, W. F., 2000).
Suhu badan diatur oleh keseimbangangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin.Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) yang memacu penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus.Selain itu PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis PG. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian PG tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik (Ganong, W. F., 2000).
Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesik, dan anti-inflamasi.Ada perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut, misalnya: parasetamol (asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti-inflamasinya lemah sekali (Ganong, W. F., 2000).
Sebagai Antipiretik, obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam.Walaupun kebanyakan obat ini memiliki efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama.Fenilbutazon dan antireumatik lainnya toidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik (Ganong, W. F., 2000).
Selain menimbulkan efek terapi yang sama obat mirip aspirin juga memiliki efek samping serupa, karena didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis PG. Selain itu kebanyakan obat bersifat asam sehingga lebih banyak terkumpul dalam sel yang bersifat asam seperti di lambung, ginjal dan jaringan inflamasi.Jelas bahwa efek obat maupun efek sampingnya akan lebih nyata di tempat dengan kadar tinggi. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna.Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat. Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung ialah iritasi yang bersifat lokal yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan dan iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua PG ini banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral (Ganong, W. F., 2000).
Demam mungkin tanda penyakit tertua dan paling dikenal secara universal. Ia timbul tidak hanya dalam mamalia, tetapi juga dalam burung, reptilian, amfibi dan ikan. Bila ia timbul dalam hewan homeotermik, maka mekanisme termoregulasi berperilaku seolah-olah ia disesuaikan untuk mempertahankan suhu badan pada tingkat lebih tinggi dari normal, yaitu seolah-olah thermostat telah disetel ulang ke titik baru di atas 37°C. Kemudian reseptor suhu mengisyaratkan bahwa suhu sebenarnya di bawah titik setelan baru dan mekanisme peningkat suhu diaktivasi. Biasanya menimbulkan sensasi menggigil karena vasokonstriksi kulit dan kadang-kadang cukup menggetarkan. Tetapi sifat respon tergantung atas suhu kamar. Suhu yang meningkat dalam hewan percobaan yang disuntikan pirogen terutama karena peningkatan produksi panas jika ia alam lingkungan dingin dan terutama karena penurnan kehilangan panas jika ia dalam lingkungan panas (Ganong, W. F., 2000).
Toksin dari bakteri seperti endotoksin bekerja atas manosit, makrofag dan sel kupffer untuk menghasilkan interleukin-1, suatu polipeptida yang juga dikenal sebagai pirogen endogen (EP). IL-1 mempnyai efek luas dalam badan. Ia memasuki otak dan menimbulkan demam oleh kerja langsung atas area preoptika hypothalamus. Ia juga bekerja atas limfosit untuk mengaktiasi system kekebalan, merangsang pelepasan neutrofil dari sumsum tulang dan menyebabkab proteolisis pada otot rangka. Bermacammacam zat lain yang mencakup steroid etiokolanolon juga menyebabkan produksi IL-1. Produksinya dalam darah, tapi mememrlukan tenaga dan dihambat oleh penghambatan sintesa protein (Ganong, W. F., 2000).
Demam yang dihasilkan oleh IL-1 bisa karena pelepasan lokal prostaglandin. Suntuikan prostaglandin ke dalam hypothalamus menimbulkan demam. Di sampig itu efek antipiretik aspirin ditimbulkan langsung atas hypothalamus dan aspirin menghambat sintesis prostaglandin (Ganong, W. F., 2000).
Manfaat demam bagi organisme belum diketahui, walaupun ia mungkin bermanfaat, karena ia telah dikembangkan dan menetap sebagai suatu respon terhadap infeksi dan penyakit lain. Banyak mikroorganisme tumbuh tebaik dalam rentang suhu yang relative sempit dan peningkatan dalam suhu penghambat pertumbuhannya (Ganong, W.F.,1995).
Di samping itu produksi antibody di tingkatkan. Sebelum ditemkan antibiotika, demam diinduksi secara buatan bagi terapi neurosfilis dan terbukti bermanfaat. Hipertemia bermanfaat bagi individu yang diinfeksi antraks, pneumonia pneumokokus, lepra serta berbagai penyalikit jamur, riketsia dan virus. Ipertemia juga memperlambat pertumbuhan sejumlah tumor. Tetapi suhu yang sangat tingg membahayakan. Bila suhu rectum di atas 41°C untuk masa yang lama, maka timbul sejumlah kerusakan otak permanent. Bila ia diatas 43°C, maka timbul sengatan panas (‘heat stroke’) dan lazim meninggal (Ganong, W.F.,1995).
Acetaminophen, (Amerika Serikat) atau paracetamol (United Kingdom), adalah analgesik and antipiretik yang popular dan digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal dan sakit ringan, dan demam. Ia digunakan dalam kebanyakan obat preskripsi analgesik selsema dan flu. Ia sangat aman dalam dos piawaian, tetapi kerana mudah di dapati, terlebih dadah (drug overdose) sama ada sengaja atau tidak sengaja sering berlaku (Wilmana, P. F., 1995).
Asetaminofen atau Parasetamol ialah analgesik dan dadah antipiretik yang popular dalam mengurangkan sakit kepala, dan demam. Parasetamol digunakan dalam mengurangkan simptom selsema dan flu, dan merupakan ramuan utama dalam kebanyakan analgesik berpreskripsi. Parasetamol adalah selamat pada dos standard, dan disebabkan boleh didapati secara meluas, dos berlebihan jarang berlaku (Wilmana, P. F., 1995).
Berbeda dengan dadah analgesik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol tiada sifat anti-keradangan. Jadi parasetamol tidak tergolong dalam dadah jenis NSAID. Dalam dos normal, asetaminofen tidak menyakitkan permukaan dalam perut atau mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus fetus. Sebelum penemuan asetaminofen, kulit sinkona digunakan sebagai agen antipiretik, selain digunakan untuk menghasilkan drug antimalaria, kuinin (Wilmana, P. F., 1995).
Apabila pokok sinkona semakin berkurangan pada 1880an, sumber alternatif mula dicari. Terdapat dua agen antipiretik dibangunkan pada 1880an; asetanilida pada 1886 dan fenasetin pada 1887. Pada masa ini, asetaminofen telah disintesis oleh Harmon Northrop Morse melalui pengurangan p-nitrofenol bersama timah dalam asid asetik glasier. Biarpun proses ini telah dijumpai pada tahun 1873, asetaminofen tidak digunakan dalam bidang perubatan sehinggalah dua dekad selepasnya. Pada 1893, asetaminofen telah ditemui di dalam air kencing seorang individu yang mengambil fenasetin, yang memekat kepada hablur campuran berwarna putih dan berperisa pahit. Pada tahun 1899, asetaminofen dijumpai sebagai metabolit asetanilida. Namun penemuan ini tidak diambil peduli pada ketika itu (Wilmana, P. F., 1995).
Pada 1946, Institut Pengajian Analgesik dan Drug Sedatif telah memberi bantuan kepada Jabatan Kesihatan Bandaraya New York untuk mengkaji masalah berkaitan agen analgesik. Bernard Brodie dan Julius Axelrod telah ditugaskan untuk mengkaji mengapa agen bukan aspirin dikaitkan dengan kewujudan methemoglobinemia, sejenis keadaan darah tidak berbahaya. Di dalam tulisan mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan penggunaan asetanilida dengan methemoglobinemia dan mendapati kesan analgesik asetanilida adalah disebabkan metabolit asetamofen yang aktif. Mereka membela penggunaan asetaminofen memandangkan bahan kimia ini tidak menghasilkan kesan kesan toksik asetanilida (Wilmana, P. F., 1995).
Analgesik adalah golongan obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri seperti nyeri kepala, gigi, an sendi. Obat golongan analgesik umumnya juga mempunyai efek antipiretik, yakni mampu menurunkan suhu tubuh, sehingga biasa disebut obat golongan analgesik-antipiretik, seperti aspirin, parasetamol, dan antalgin (Murray, R. K., 2003).
Analgesik-antipiretik biasanya digunakan untuk mengobati penyakit dengan gejala demam (suhu tubuh meningkat) dan nyeri, seperti influenza dan salesma. Karena mempunyai efek samping yang ringan, obat golongan analgesik-antipiretik dijual bebas di pasaran (Murray, R. K., 2003).
Obat golongan ini mampu menurunkan panas (antipiretik) karena menormalkan pustat pengatur suhu yang terletak di batang otak. Selain itu mampu melebarkan pembuluh darah kulit dan memperbanyak keringat sehingga semakin banyak panas yang dibuang. Selain bekerja disusunan syaraf pusat, analgesik-antipiretik dapat mencegah pembentukan prostaglandin, yakni zat yang menimbulkan rasa nyeri dan panas (Murray, R. K., 2003).
Analgesik-antipiretik terdiri dari empat golongan, yakni salisilat, asetominofen, piralozon, dan golongan asam (asam-mefenamat). Salisilat di pasaran dikenal sebagi aspirin. Dalam dosis tinggi, aspirin mempiunyai khasiat antiradang sehingga sering digunakan unrtuk mengobati radang sendi (rematik) (Murray, R. K., 2003).
Obat ini juga bersifat mengurangi daya ikat sel-sel pembeku darah sehingga penting untuk segera diberikan pada penderita angina (serangan jantung), untuk mencegah penyumbatan pembuluh darah jantung karena penggumpalan/pembekuan darah. Aspirin dapat menimbulkan nyeri dan perdarahan lambung, karena itu sebaiknya dikonsumsi setelah makan. Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan telinga berdenging, tuli, penglihatan kabur, bahkan kematian (Murray, R. K., 2003).
Asetaminofen di pasaran dikenal sebagai parasetamol. Obat ini mempunyai khasiat antiradang yang jauh lebih lemah dari aspirin sehingga tidak bisa digunakan untuk mengobati rematik. Asetaminofen tidak merangsang lambung sehingga dapat digunakan oleh penderita sakit lambung. Sehingga piralozon, antara lain antalgin, neuralgin, dan novalgin, amat manjur sebagai penurun panas dan penghilang rasa nyeri (Murray, R. K., 2003).
Paracetamol. Derivat asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak digunakan sebagai analgeticum, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen).Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak antiradang.Dewasa ini pada umumya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri).Efek analgetisnya diperkuat oleh kofein dengan kira-kira 50% dan kodein (Tjay, T. H., 2007).
Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rektal lebih lambat.PP-nya 25 %, plasma t1/2 nya 1-4 jam.Antara kadar plasma dan efeknya tidak ada hubungan. Dalam hati, zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang diekskresi dengan kemih sebagai konyugat-glukuronida dan sulfat (Tjay, T. H., 2007).
Efek sampingnya tak jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitivitas dan ke lainan darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadikerusakan hati, pada dosis di atas 6 g mengakibatkan necrose hati yang tidak reversibel.Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glukathion (suatu tripeptida dengan –SH).Pada dosis di atas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversibel. Dosis dari 20 g sudah berefek fatal.Overdose bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam intoksikasi (Tjay, T. H., 2007).
Wanita hamil dapat menggunakan paracetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu (Tjay, T. H., 2007).
Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak interaktif. Masa paruh kloramfenikol dapat sangat diperpanjang. Kombinasi dengan obat AIDS zidovudin meningkatkan risiko akan neutropenia (Tjay, T. H., 2007).
Hipotalamus bertugas mempertahankan suhu tubuh agar senantiasa konstan, berkisar pada suhu 37 C. Itu sebabnya, di mana pun manusia berada, di kutub atau di padang pasir, suhu tubuh harus selalu diupayakan stabil, sehingga manusia disebut sebagai makhluk homotermal (P. Purnamawati S., 2007).
Termostat hipotalamus bekerja berdasarkan asupan dari ujung saraf dan suhu darah yang beredar di tubuh. Di udara dingin hipotalamus akan membuat program agar tubuh tidak kedinginan, dengan menaikkan set point alias menaikkan suhu tubuh. Caranya dengan mengerutkan pembuluh darah, sehingga badan menggigil dan tampak pucat. Sedangkan di udara panas, hipotalamus tentu saja harus menurunkan suhu tubuh untuk mencegah heatstroke. Caranya dengan mengeluarkan panas melalui penguapan. Pembuluh darah melebar, pernapasan pun menjadi lebih cepat. Makanya, pada saat kepanasan, selain berkeringat, kulit kita juga tampak kemerahan (flushing) (P. Purnamawati S., 2007).
Ketika demam, otak mematok suhu di atas set point normal, yaitu di atas 380C. Dengan menggunakan termometer, anak dinyatakan demam jika suhu tubuhnya 380C (diukur di rektum atau ujung usus besar, termometer dimasukkan melalui anus), 37,50C apabila diukur di mulut, serta 37,20C jika diukur di ketiak.
Akibat tuntutan peningkatan set point, tubuh akan memproduksi panas. Proses pembentukan panas itu terdiri dari tiga fase (P. Purnamawati S., 2007).
Pertama, menggigil (berlangsung sampai suhu tubuh mencapai puncaknya), lalu suhu tubuh tetap tinggi untuk beberapa jam (fase kedua), dan suhu tubuh turun jadi normal atau mendekati normal (fase ketiga). Satu lagi, makin tingginya suhu saat demam tidak menandakan penyakit yang lebih parah. Infeksi virus ringan, seperti selesma misalnya, bisa menyebabkan demam yang cukup tinggi. Di lain pihak, bayi baru lahir dengan infeksi berat sekali pun bisa saja suhu tubuhnya tidak meningkat atau hanya sedikit peningkatannya (P. Purnamawati S., 2007).
Produksi prostaglandins menjadi bagian dari tanggapan badan demam dan penyebab radang, dan larangan prostaglandin produksi di sekitar badan dengan ganjalan cyclooxygenase enzim dikenal sebagai COX-1 dan COX-2 telah lama mengenal sebagai mekanisme tindakan aspirin dan lain anti-inflammatory obat/racun non-steroidal (NSAIDS) seperti ibuprofen. Bagaimanapun, tindakan mereka di (dalam) menghalangi COX-1 dikenal bertanggung jawab untuk juga menyebabkan gastrointestinal efek samping yang tak dikehendaki berhubungan dengan obat ini (Anonim,2007)
Paracetamol tidak punya tindakan penting pada COX-1 dan COX-2, tindakan dari parasetamol adalah suatu misteri tetapi menjelaskan anti-inflammatory tindakan ketiadaannya dan juga, lebih penting lagi, kebebasan nya dari gastrointestinal merupakan efek samping yang khas NSAIDS (Anonim,2007).
Pemberian obat antipiretik merupakan pilihan pertama dalam menurunkan demam dan sangat berguna khususnya pada pasien berisiko, yaitu anak dengan kelainan kardiopulmonal kronis, kelainan metabolik, penyakit neurologis dan pada anak yang berisiko kejang demam (Kania, N., 2007).
Obat-obat anti inflamasi, analgetik dan antipiretik terdiri dari golongan yang bermacam-macam dan sering berbeda dalam susunan kimianya tetapi mempunyai kesamaan dalam efek pengobatannya. Tujuannya menurunkan set point hipotalamus melalui pencegahan pembentukan prostaglandin dengan jalan menghambat enzim cyclooxygenase. Asetaminofen merupakan derivat para-aminofenol yang bekerja menekan pembentukan prostaglandin yang disintesis dalam susunan saraf pusat. Dosis terapeutik antara 10-15 mgr/kgBB/kali tiap 4 jam maksimal 5 kali sehari. Dosis maksimal 90 mgr/kbBB/hari. Dosis besar jangka lama dapat menyebabkan intoksikasi dan kerusakkan hepar (Kania, N., 2007).
Turunan asam propionat seperti ibuprofen juga bekerja menekan pembentukan prostaglandin. Obat ini bersifat antipiretik, analgetik dan antiinflamasi. Efek samping yang timbul berupa mual, perut kembung dan perdarahan, tetapi lebih jarang dibandingkan aspirin. Efek samping hematologis yang berat meliputi agranulositosis dan anemia aplastik. Efek terhadap ginjal berupa gagal ginjal akut (terutama bila dikombinasikan dengan asetaminopen) (Kania, N., 2007).
Dosis terapeutik yaitu 5-10 mgr/kgBB/kali tiap 6 sampai 8 jam. Metamizole (antalgin) bekerja menekan pembentukkan prostaglandin. Mempunyai efek antipiretik, analgetik dan antiinflamasi.Asam mefenamat suatu obat golongan fenamat. Khasiat analgetiknya lebih kuat dibandingkan sebagai antipiretik. Efek sampingnya berupa dispepsia dan anemia hemolitik. Dosis pemberiannya 20 mgr/kgBB/hari dibagi 3 dosis (Kania, N., 2007).

V. METODE PERCOBAAN
5.1. Alat dan Bahan
5.1.1. Alat
- Spuit 1 ml
- Vial
- Selang oral
- Stopwatch
- Termometer rektal
- Timbangan elektrik
- Koran
- Kotak pengamatan (Kotak kaca)
- Tali plastik
- Spidol permanen
5.1.2. Bahan
- Merpati dewasa
- Aquadest
- Parafin liquidum
- Alkohol 70%
- suspensi Parasetamol
- 2,4-Dinitro Fenol (DNF)
- suspensi Obat X
- suspensi CMC Na
5.2. Prosedur Percobaan
- Hewan diikat, ditimbang, dan ditandai
- Diukur suhu rata-rata dengan termometer melalui rektal dengan selang waktu 5 menit sebanyak tiga kali, dirata-ratakan
- Dihitung dosis DNF konsentrasi 5% dosis 5 mg/kg BB diberikan secara intramuskular melalui otot dadanya
- Diukur kenaikan suhu tubuh merpati dengan selang waktu 5 menit sebanyak 3 kali
- Dihitung dosis dan diberikan:
• Merpati I : Kontrol suspensi kosong 1%, dosis 1% BB (oral)
• Merpati II : Suspensi paracetamol 10% dosis 400 mg/kgBB (oral)
• Merpati III : Obat X 10% dosis 400 mg/kg BB (oral)
- Diukur perubahan suhu yang terjadi dengan selang waktu 5 menit selama 50 menit
- Dibuat grafik suhu vs waktu






























VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK, DAN PEMBAHASAN
6.1. Perhitungan Dosis
• Merpati I
- Berat Merpati : 261,6 g
- Dosis : DNF 5%, dosis 5 mg/kg BB (i.m.)
- Syringe : 80 skala (1 skala = 1 ml/80 = 0,0125 ml)
- Jumlah DNF yang diberikan = 5 mg/kg x 261,6 g/1000 = 1.308 mg
- Konsentrasi DNF 5% = 5 g/100 ml = 5000 mg/100 ml = 50 mg/ml
- Volume DNF yang disuntikkan = = 0.02616 ml
- Volume DNF dalam syringe = = 2.0928 skala
- Dosis : Suspensi kosong, dosis 1% BB (oral)
- Jumlah suspensi yang diberikan = 1/100 x 261,6 g = 2,616 ml
- Volume suspensi dalam syringe = = 209,28 skala
• Merpati 2
- Berat Merpati : 236,7 g
- Dosis : DNF 5%, dosis 5 mg/kg BB (i.m.)
- Syringe : 80 skala (1 skala = 1 ml/80 = 0,0125 ml)
- Jumlah DNF yang diberikan = 5 mg/kg x 236,7 g/1000 = 1.1835 mg
- Konsentrasi DNF 5% = 5 g/100 ml = 5000 mg/100 ml = 50 mg/ml
- Volume DNF yang disuntikkan = = 0.02367 ml
- Volume DNF dalam syringe = = 1,8936 skala
- Dosis : Parasetamol 10%, dosis 400 mg/kg BB (oral)
- Jumlah obat yang diberikan = 400 mg/kg x 236,7 g/1000 = 94,68 mg
- Konsentrasi parasetamol 10%=10g/100ml=10000mg/100ml=100 mg/ml
- Volume obat yang diberikan = = 0,9468 ml
- Volume obat dalam syringe = = 75,744 skala
• Merpati 3
- Berat Merpati : 244,7 g
- Dosis : DNF 5%, dosis 5 mg/kg BB (i.m.)
- Syringe : 80 skala (1 skala = 1 ml/80 = 0,0125 ml)
- Jumlah DNF yang diberikan = 5 mg/kg x 244,7g/1000 = 1.2235 mg
- Konsentrasi DNF 5% = 5 g/100 ml = 5000 mg/100 ml = 50 mg/ml
- Volume DNF yang disuntikkan = = 0.02447 ml
- Volume DNF dalam syringe = = 1.9576 skala
- Dosis : Obat X 10%, dosis 400 mg/kg BB (oral)
- Jumlah obat yang diberikan = 400 mg/kg x 244.7 g/1000 = 97.88 mg
- Konsentrasi obat X 10%=10g/100ml=10000mg/100ml=100 mg/ml
- Volume obat yang diberikan = = 0.9788 ml
- Volume obat dalam syringe = = 78.304 skala

6.4. Pembahasan
Pada percobaan “Antipiretik” ini, setelah pemberian DNF diperoleh bahwa suhu dari merpati 1, 2, dan 3 mengalami peningkatan, walaupun tidak konstan. Hal ini karena DNF dapat menyebabkan biosintesa prostaglandin yang berlebihan sehingga menyebabkan thermostat naik di hipotalamus dan menimbulkan demam.
Pengamatan selanjutnya adalah pada merpati yang diberikan obat paracetamol dan obat X (merpati 2 dan 3) menunjukkan penurunan suhu tubuh yang semakin lama semakin menurun (efek antipiretik obat). Sedangkan merpati 1, yang diberi suspensi CMC Na mengalami kenaikan suhu tubuh.
Bila dibandingkan antara obat-obat antipiretik tersebut (paracetamol dan obat X), efek antipiretik yang paling nyata ditunjukkan oleh merpati yang diberi suspensi paracetamol (merpati 2) dibandingkan obat X. Pada percobaan ini, sebenarnya suspensi obat X merupakan suspensi paracetamol juga. Akan tetapi sediaan patennya. Sedangkan paracetamol yang diberikan untuk merpati 2 tersebut adalah sediaan Generik-nya.
Pada penggunaan sehari-hari, telah diketahui secara nyata dan benar bahwa obat-obat paten lebih kuat dan cepat memberikan efek dibandingkan obat-obat generik. Hal tersebut terjadi karena pada obat-obat paten telah digunakan suatu formulasi obat dengan bahan-bahan tambahan yang benar-benar dipertimbangkan dapat mempengaruhi kecepatan efek obatnya.
Namun, pada percobaan diperoleh data yang tidak sesuai dengan teori. Seharusnya efek antipiretik dari paracetamol, obat patennya lebih cepat dan lebih kuat memberikan efek dibandingkan obat paracetamol yang generik. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan awal masing-masing merpati. Ditunjukkan bahwa suhu tubuh normal merpati tidak pada suhu 38-390C. Dapat juga dikatakan merpati yang digunakan pada percobaan tidak pada keadaan normal. Hal ini juga mempengaruhi data yang diperoleh dalam percobaan.
Di dalam badan, panas dihasilkan oleh gerak otot, asimilasi makanan dan semua proses vital yang menyokong laju metabolisme basal. Ia hilang dari bahan oleh radiasi, konduksi serta penguapan air di dalam jalan pernapasan dan di atas kulit. Sejumlah kecil panas juga di buang di dalam urina dan feses. Keseimbangan antar produksi panas dan kehilangan panas menentukan suhu badan. Karena kecepatan reaksi kimia bervariasi sesuai suhu dan kecepatan reakasi kimia bervariasi sesuai suhu dan karena system enzyme tubuh mmpunyai rentang suhu yang sempit tempat ia berfungsi optimum, maka fungsi tubuh yang normal tergantung atas suhu badan yang relatif tetap (Ganong, W. F., 2000).















VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
- Pada percobaan tampak bahwa pemberian parasetamol pada hewan percobaan (merpati) yang mengalami demam dengan pemberian suatu senyawa yang bersifat pirogen eksogenik dapat memberikan efek antipiretik atau penurun panas.
- Efek antipiretik yang ditimbulkan oleh obat X lebih baik daripada parasetamol yang diberikan dalam dosis yang sama pada hewan percobaan.

7.2. Saran
- Sebaiknya digunakan juga obat antipiretik dari golongan lain, seperti metampiron atau aspirin, agar dapat diperoleh perbandingan efek antipiretiknya.
- Sebaiknya dapat juga digunakan kombinasi obat antipiretik, misalnya kombinasi parasetamol dan aspirin, untuk mengetahui apakah lebih baik dalam menurunkan demam dibandingkan dengan pemberian parasetamol.
















DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2007), ”Mechanism of Action of Paracetamol”,
http://www.pharmweb.net/pwmirror/pwy/paracetamol/pharmwebpicmechs.html.
Ganong, W., (2000), ”Fisiologi Kedokteran”, Jakarta: EGC, Hal. 184-185.
Guyton, A. C., (1996), ”Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit”, Edisi III, Jakarta: EGC, Hal. 648-649.
Kania, N., (2007), “Penatalaksanaan Demam pada Anak”,
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/penatalaksanaan_demam_pada_anak.pdf
Murray, R. K., (2003), “Biokimia Harper”, Edisi XXV, Jakarta: EGC, Hal. 625.
P. Purnamawati S., (2007), “Jangan Panik, Demam Bukan Penyakit !”,
http://www.pitoyo.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=272
Tjay, T. H., dan Kirana Rahardja, (2007), “Obat-obat Penting”, Edisi VI, Elex Media Komputindo, Jakarta, Hal. 297-299.
Wilmana, P. F., (1995), “Perangsang Susunan Saraf Pusat”, dalam “Farmakologi Dan Terapi”, Editor Sulistia G. Ganiswara, Edisi V, Jakarta: Fakultas Kedokteran UI, Hal. 207-209.














LAMPIRAN

GAMBAR ALAT DAN HEWAN UJI

Merpati Obat dalam vial









Alat Suntik Spuit dengan selang oral







Stopwatch Timbangan Elektrik Termometer rektal






Kotak Pengamatan Parafin liquidum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar